TARAKAN – Sepanjang Senin
(27/9), suasana mencekam akibat kerusuhan melanda Tarakan, Kalimantan
Timur. Beberapa warga dengan senjata tajam di tangan melakukan aksi
sweeping terhadap warga lainnya. Dua rumah juga dibakar massa dan 4
rumah lainnya rusak.
Rusuh dipicu atas tewasnya Abdullah bin H Salim (58) karena dikeroyok 6 pemuda di wilayah Juata Permai, Tarakan Utara. Meninggalnya Abdullah Bin H. Salim ini terjadi pada Minggu malam, atau Senin (27/9) dinihari, setelah sebelumnya terjadi pertengkaran antara anak Abdullah bin H Salim yang bernama Abdul Rahman dengan 6 pemuda. Pertengkaran terjadi usai Abdul Rahman membeli rokok sekitar pukul 22.00, Minggu (26/9) malam lalu.
Setibanya di rumah, Rahman menceritakan kronologis kejadian pada Minggu malam itu. Awalnya ia berniat membeli rokok di salah satu toko di pinggir jalan utama, di dekat jalan masuk kantor Kelurahan Juata Permai. Setelah membeli rokok, Rahman yang saat itu bersama rekannya bernama Jay, menanyakan keberadaan rekannya bernama Ruri kepada 6 pemuda itu. “Saya cuma cari Ruri, tapi tidak ada. Mereka (6 orang) langsung memukul saya,” kata Rahman yang menderita luka-luka di bagian muka dan pergelangan tangan kanannya.
Di saat kejadian itu, Jay lantas balik ke rumahnya di wilayah Belalung, untuk mengabarkan kejadian ini kepada salah satu keluarganya, Lili Sutrisna, dan ayah Rahman, (almarhum) Abdullah Bin H. Salim. Dikatakan Lili, awalnya hanya ia yang ingin melihat Rahman di lokasi itu. Namun ayah Rahman, Abdullah, juga ingin sekali ikut. “Kami sudah tahan agar beliau (almarhum) tidak ikut. Tapi tetap saja mau. Pas kami sampai disana, Rahman sudah babak belur. Almarhum juga kena sabetan parang,” ujar Lili Sutrisna yang mengaku menerima pukulan di wajahnya saat kejadian itu.
Rahman sendiri mengaku sudah tidak mengetahui apa-apa lagi pasca pertengkaran itu. “Setelah saya diantar ke rumah, saya langsung dibawa ke rumah sakit. Jadi saya tidak tahu apa-apa lagi,” katanya seperti dikutip Radar Tarakan (grup JPNN).
Kejadian ini memicu kemarahan etnis Tidung. Sanak keluarga dan warga dari Persatuan Suku Asli Kalimantan Timur (Pusaka) tumpah ruah di kediaman keluarga korban di wilayah Belalung, Juata Permai, kemarin pagi sebelum dikebumikan di Gunung Daeng, Sebengkok Tiram pukul 15.00.
Kepala Adat Besar Dayak Tidung Kalimantan, Haji Mochtar Basry Idris yang turut hadir di kediaman korban, mengatakan, kasus yang sampai menghilangkan nyawa itu sebenarnya tidak perlu terjadi jika pihak kepolisian segera merespon aduan-aduan yang sering disampaikan oleh warga asli Kalimantan. “Banyak laporan-laporan yang belum direspon polisi. Saya minta atas nama adat Dayak Tidung, kasus ini dan kasus lainnya yang terjadi sebelumnya segera ditindak. Daftar nama-nama pelaku yang diduga ada delapan orang, sudah ada di tangan kami. Kalau polisi tidak berhasil menangkap, akan kami selesaikan secara adat,” tegasnya.
Namun tokoh adat Dayak Tidung ini berharap agar kejadian itu tidak sampai terjadi. Meski begitu, polisi harus dapat segera bertindak mengusut kejadian ini dan menangkap pelaku pengroyokan atas Rahman, Lili Sutrisna, dan almarhum Abdullah Bin H. Salim. “Kalau sudah diselesaikan secara adat, mati akan dibalas mati. Kami harap jangan seperti inilah. Kalau alasan polisi pelaku lari, ya diusahakan dicari,” harapnya.
Salah satu tokoh masyarakat Tidung yang juga anggota DPRD Tarakan, Haji Fadlan Hamid, mengatakan bahwa kejadian itu merupakan suatu tragedi baru lagi di antara banyaknya tragedi yang selalu terulang terhadap masyarakat asli Kalimantan. “Ini selalu terulang. Bagaimana tidakan aparat? Kalau tidak sanggup saya yakin masyarakat Tidung dapat menyelesaikan caranya sendiri,” kata Fadlan yang turut hadir di kediaman korban kemarin pagi. “Apalagi ini awalnya sepele, tapi sampai mengorbankan nyawa,” sambungnya.
Karena itu Fadlan pun berharap agar beberapa kejadian yang melibatkan warga Tidung, sudah harus ditemukan titik terangnya. Mulai dari kejadian di Amal, Juata, dan lainnya harus terungkap pelakunya. “Kalau dipendam terus, bisa-bisa meledak. Jadi harus ditindak serius. Kami menanti tindakan aparatur, tapi bukan tanpa batas, berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Harus ada batasnya. Kami inginkan secepatnya selesai dalam hitungan hari,” harapnya.
Salah satu masyarakat Tidung, H. Abdul Majid Arhan, mengharapkan agar dari pertikaian ini ada solusi terbaik yang didapatkan. “Kita ingin solusi terbaik. Kami harap saudara-saudaraku yang datang, haruslah menghargai pepatah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” kata Abdul Majid Arhan.
Menurutnya, sebagai sesama masyarakat yang mencari nafkah di Tarakan, warga pendatang haruslah berterima kasih dengan penduduk asli Kalimantan sehingga terjalin kebersamaan antar penduduk asli dengan pendatang. “Tapi kenyataannya, beberapa orang bertindak kasar. Padahal satu agama dengan kami. Begitu juga agama lain. Kita juga berharap pemerintah bertidak tegas atas kejadian-kejadian ini,” harapnya.
Abdul Majid Arhan juga menuturkan, alangkah indahnya sebuah kehidupan jika aturan-aturan yang ada dijalankan masyarakat, sehingga kelalaian-kelalaian yang timbul kemudian karena melanggar aturan, tidak terjadi lagi. “Dari kami, pernyataan nyawa dibalas nyawa itu hanya bahasa emosional. Kami mau hukum ditegakkan, apalagi sampai berujung kematian. Kami cuma mau cari pelaku jika polisi tidak sanggup, bukan yang lain,” tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Adat Tidung, H. Ahmad Sulaiman, berharap agar kejadian ini tidak terulang lagi. “Pedihnya sangat pedih. Terlebih lagi jika tidak ada tindakan aparat. Memang mungkin saya aparat bekerja, namun belum dapat-dapat pelakunya. Tapi harapan kami bisa segera ditindak pelakunya. Kami tetap sabar,” ujar Ahmad yang juga warga Selumit.
Rusuh dipicu atas tewasnya Abdullah bin H Salim (58) karena dikeroyok 6 pemuda di wilayah Juata Permai, Tarakan Utara. Meninggalnya Abdullah Bin H. Salim ini terjadi pada Minggu malam, atau Senin (27/9) dinihari, setelah sebelumnya terjadi pertengkaran antara anak Abdullah bin H Salim yang bernama Abdul Rahman dengan 6 pemuda. Pertengkaran terjadi usai Abdul Rahman membeli rokok sekitar pukul 22.00, Minggu (26/9) malam lalu.
Setibanya di rumah, Rahman menceritakan kronologis kejadian pada Minggu malam itu. Awalnya ia berniat membeli rokok di salah satu toko di pinggir jalan utama, di dekat jalan masuk kantor Kelurahan Juata Permai. Setelah membeli rokok, Rahman yang saat itu bersama rekannya bernama Jay, menanyakan keberadaan rekannya bernama Ruri kepada 6 pemuda itu. “Saya cuma cari Ruri, tapi tidak ada. Mereka (6 orang) langsung memukul saya,” kata Rahman yang menderita luka-luka di bagian muka dan pergelangan tangan kanannya.
Di saat kejadian itu, Jay lantas balik ke rumahnya di wilayah Belalung, untuk mengabarkan kejadian ini kepada salah satu keluarganya, Lili Sutrisna, dan ayah Rahman, (almarhum) Abdullah Bin H. Salim. Dikatakan Lili, awalnya hanya ia yang ingin melihat Rahman di lokasi itu. Namun ayah Rahman, Abdullah, juga ingin sekali ikut. “Kami sudah tahan agar beliau (almarhum) tidak ikut. Tapi tetap saja mau. Pas kami sampai disana, Rahman sudah babak belur. Almarhum juga kena sabetan parang,” ujar Lili Sutrisna yang mengaku menerima pukulan di wajahnya saat kejadian itu.
Rahman sendiri mengaku sudah tidak mengetahui apa-apa lagi pasca pertengkaran itu. “Setelah saya diantar ke rumah, saya langsung dibawa ke rumah sakit. Jadi saya tidak tahu apa-apa lagi,” katanya seperti dikutip Radar Tarakan (grup JPNN).
Kejadian ini memicu kemarahan etnis Tidung. Sanak keluarga dan warga dari Persatuan Suku Asli Kalimantan Timur (Pusaka) tumpah ruah di kediaman keluarga korban di wilayah Belalung, Juata Permai, kemarin pagi sebelum dikebumikan di Gunung Daeng, Sebengkok Tiram pukul 15.00.
Kepala Adat Besar Dayak Tidung Kalimantan, Haji Mochtar Basry Idris yang turut hadir di kediaman korban, mengatakan, kasus yang sampai menghilangkan nyawa itu sebenarnya tidak perlu terjadi jika pihak kepolisian segera merespon aduan-aduan yang sering disampaikan oleh warga asli Kalimantan. “Banyak laporan-laporan yang belum direspon polisi. Saya minta atas nama adat Dayak Tidung, kasus ini dan kasus lainnya yang terjadi sebelumnya segera ditindak. Daftar nama-nama pelaku yang diduga ada delapan orang, sudah ada di tangan kami. Kalau polisi tidak berhasil menangkap, akan kami selesaikan secara adat,” tegasnya.
Namun tokoh adat Dayak Tidung ini berharap agar kejadian itu tidak sampai terjadi. Meski begitu, polisi harus dapat segera bertindak mengusut kejadian ini dan menangkap pelaku pengroyokan atas Rahman, Lili Sutrisna, dan almarhum Abdullah Bin H. Salim. “Kalau sudah diselesaikan secara adat, mati akan dibalas mati. Kami harap jangan seperti inilah. Kalau alasan polisi pelaku lari, ya diusahakan dicari,” harapnya.
Salah satu tokoh masyarakat Tidung yang juga anggota DPRD Tarakan, Haji Fadlan Hamid, mengatakan bahwa kejadian itu merupakan suatu tragedi baru lagi di antara banyaknya tragedi yang selalu terulang terhadap masyarakat asli Kalimantan. “Ini selalu terulang. Bagaimana tidakan aparat? Kalau tidak sanggup saya yakin masyarakat Tidung dapat menyelesaikan caranya sendiri,” kata Fadlan yang turut hadir di kediaman korban kemarin pagi. “Apalagi ini awalnya sepele, tapi sampai mengorbankan nyawa,” sambungnya.
Karena itu Fadlan pun berharap agar beberapa kejadian yang melibatkan warga Tidung, sudah harus ditemukan titik terangnya. Mulai dari kejadian di Amal, Juata, dan lainnya harus terungkap pelakunya. “Kalau dipendam terus, bisa-bisa meledak. Jadi harus ditindak serius. Kami menanti tindakan aparatur, tapi bukan tanpa batas, berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Harus ada batasnya. Kami inginkan secepatnya selesai dalam hitungan hari,” harapnya.
Salah satu masyarakat Tidung, H. Abdul Majid Arhan, mengharapkan agar dari pertikaian ini ada solusi terbaik yang didapatkan. “Kita ingin solusi terbaik. Kami harap saudara-saudaraku yang datang, haruslah menghargai pepatah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” kata Abdul Majid Arhan.
Menurutnya, sebagai sesama masyarakat yang mencari nafkah di Tarakan, warga pendatang haruslah berterima kasih dengan penduduk asli Kalimantan sehingga terjalin kebersamaan antar penduduk asli dengan pendatang. “Tapi kenyataannya, beberapa orang bertindak kasar. Padahal satu agama dengan kami. Begitu juga agama lain. Kita juga berharap pemerintah bertidak tegas atas kejadian-kejadian ini,” harapnya.
Abdul Majid Arhan juga menuturkan, alangkah indahnya sebuah kehidupan jika aturan-aturan yang ada dijalankan masyarakat, sehingga kelalaian-kelalaian yang timbul kemudian karena melanggar aturan, tidak terjadi lagi. “Dari kami, pernyataan nyawa dibalas nyawa itu hanya bahasa emosional. Kami mau hukum ditegakkan, apalagi sampai berujung kematian. Kami cuma mau cari pelaku jika polisi tidak sanggup, bukan yang lain,” tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Adat Tidung, H. Ahmad Sulaiman, berharap agar kejadian ini tidak terulang lagi. “Pedihnya sangat pedih. Terlebih lagi jika tidak ada tindakan aparat. Memang mungkin saya aparat bekerja, namun belum dapat-dapat pelakunya. Tapi harapan kami bisa segera ditindak pelakunya. Kami tetap sabar,” ujar Ahmad yang juga warga Selumit.
Baca Juga Yang Lainnya Tentang :