Keberhasilan penyebaran Islam di Jawa tidak lepas dari peran Ulama Sufi yang tergabung dengan Wali Songo. Proses Islamisasi yang dilakukan Wali Songo berlansung pada abad ke-15 (masa kesultanan Demak).
Kata Wali, berarti : pembela, teman dekat, dan pemimpin. Dalam hal ini biasa diartikan sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT (Waliyullah). Sedangkan kata Songo (bahasa Jawa) berarti sembilan. Jadi secara umum Wali Songo
berarti sembilan Wali yang dianggap telah dekat dengan Allah SWT., yang
terus menerus beribadah kepada-Nya, dan memiliki kekeramatan (kemuliaan, keistimewaan, atau keluarbiasaan) dan kemampuan diluar kebiasaan manusia.
Mereka yang tergolong Wali Songo tersebut adalah :
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (wapat
di Gresik tahun 1441 M). Sebelum datang ke Jawa, ia menetap di Kerajaan
Pasai atau Perlak di Aceh. Menurut sumber sejarah, salah seorang raja
Kerajaan Campa mempunyai beberapa orang putri. Salah seorang putri itu
dijadikan istri Raja Majapahiat, Sri Kertawijaya, yang memerintah
Kerajaan Majapahi. Perkawinan itu melahirkan Arya Damar, Adipati
Sriwijaya. Putri lain dari Raja Campa itu dikawinkan dengan Maulana
Malik Ibrahim, dari hasil perkawinannya itu kemudian melahirkan Raden
Rahmat (Sunan Ampel).
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
(lahir di Campa, Aceh tahun 1401 dan wapat di Ampel tahun 1481). Beliau
adalah penerus cita-cita dan perjuangan Maulana Malik Ibrahim, dan
terkenal sebagai perancang pertama kerajaan Islam di Jawa, dan dialah
yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak. Ia memulai
aktivitasnya dengan mendirikan pesantren pertama di Jawa Timur, yaitu
Pesantren Ampel Denta di dekat Surabaya. Di pesantren inilah Sunan Ampel
mendidik para pemuda Islam untuk menjadi da’i yang akan disebar ke
seluruh Jawa. Diantara pemuda yang dididiknya antara lain ; Raden Paku yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Giri, Raden Fatah (putra Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit) yang menjadi sultan pertama kesultanan Islam di Bintoro (Demak), Raden Makhdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri) yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Bonang, Syarifuddin yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Drajat, Maulana Ishak yang diutus untuk mengislamkan Blambangan.
3. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
(lahir di Ampel, Surabaya tahun 1465 dan wapat di Tuban tahun 1525). Ia
dianggap sebagai pencipta gending pertama untuk mengembangkan Islam di
pesisir utara Jawa Timur. Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam
menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak dan
kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang dan musik
gamelan. Syair lagu gamelan ciptaan wali berisi pesan tauhid, sikap
menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Setiap bait lagu diselingi syahadatain dan gamelan yang mengiringinya disebut sekaten.
4. Sunan Giri atau Raden Paku atau Sultan Abdul Fakih (lahir
di Blambangan pada pertengahan abad ke-15 dan wapat di Giri tahun
1506). Ia adalah putra Maulana Ishak. Salah seorang saudaranya juga
termasuk Wali Songo yaitu Raden Abdul Kadir (Sunan Gunung Djati). Dalam perjalanan ibadah haji ke Mekkah Sunan Giri dan Sunan Bonang mampir
di Pasai untuk memperdalam pengetahuan keislaman. Ketika itu Pasai
menjadi tempat berkembangnya Ilmu Tauhid, Keimanan dan Ilmu Tasawwuf.
Disini ia menemukan Ilmu Laduni sehingga gurunya memberi anugerah gelar ‘Ainul Yaqin. Ia banyak mengirim juru dakwah ke luar jawa seperti : Madura, Bawean, Kangean, Ternate, dan Tidore.
Sunan
Giri terkenal sebagai lambang pemersatu bangsa Indonesia yang dirintis
pada abad ke-15 Masehi. Jika Gajah Mada dipandang sebagai pemersatu
bangsa dengan kekuatan meliter dan politiknya, maka Sunan Giri dikenal
dengan ilmu dan pengembangan pendidikannya.
5. Sunan Drajat atau Raden Kosim atau Syarifuddin
(lahir di Ampel Denta, sekitar tahun 1470 dan wapat di Sedayu Gresik
pada pertengahan abad ke-16). Hal paling menonjol dalam dakwah Sunan
Drajat adalah perhatiannya yang sangat serius pada masalah-masalah
sosial sehingga ia dikenal berjiwa sosial. Ia juga dikenal sebagai
pencipta tembang Jawa, yaitu tembang Pangkur yang hingga sekarang masih
banyak digemari masyarakat.
Pemikiran
kesufian Sunan Drajat yang menonjol adalah upaya menyadarkan manusia
dari ambisi jabatan dan kedudukan yang akan mendorong manusia untuk
menikmati dunia dengan pola hidup berfoya-foya dan memuaskan nafsu
perut. Ia berpendapat, perut adalah sumber segala syahwat dan penyakit
jasmani dan rohani. Jika perut diisi makanan dan minuman enak, timbulah
nafsu serakah, yang kemudian timbullah nafsu-nafsu yang lain, seperti ;
syahwat kelamin, permabukan, perjudian, dan lain-lain.
Karena
pola hidup mewah harus dicapai dengan jalan menguasai pangkat dan
kedudukan, maka orang berlomba mengejar pangkat dan kedudukan meskipun
dengan jalan kezholiman, kecurangan dalan politk dan makar. Untuk itulah
Sunan Drajat selalu menyuruh santrinya agar memelihara perutnya; makan
dan minum sekedar yang dibutuhkan bagi kesehatan jasmani dan rohani dan
tidak berlebihan. Makan dan minum tidak sembarangan tetapi yang suci dan
halal agar zat-zat darah yang terbentuk darinya menjadi
bersih untuk perbuatan anggota badan sehingga menumbuhkan kejernihan
berfikir. Diingatkannya, bahwa perut yang kenyang dapat menjadi sumber
segala penyakit dan menyebabkan otak menjadi tumpul, malas berfikir, dan
malas menjalankan ibadah kepada Allah.
Kepada pembesar negara, Sunan Drajat menasihati mereka agar selalu memperhatikan kesejahteraan rakyat.
6. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Syahid (lahir akhir abad ke-14 dan wafat pada pertengahan
abad ke-15). Beliau terkenal sebagai wali yang berjiwa besar,
berwawasan luas, berpikiran tajam dan intelek, dan berasal dari suku
Jawa asli. Daerah operasi dakwah Sunan Kalijaga tidak
terbatas, bahkan sebagai muballigh ia berkeliling dari satu daerah ke
daerah yang lain. Karena dakwahnya yang intelek para bangsawan dan
cendikiawan sangat simpati kepadanya, termasuk lapisan masyarakat
awam dan penguasa. Dalam melaksanakan pemerintahan Demak, Raden Fatah
sangat menghargai nasihat-nasihat Sunan Kalijaga. Ia juga sangat berjasa
dalam perkembangan wayang purwa atau wayang kulit yang bercorak islami.
Ia juga berjasa dalam membuat corak batik bermotif burung (kukula).
Kata tersebut ditulis dalam bahasa Arab menjadi qu dan qila, yang berarti “Peliharalah ucapanmu sebaik-baiknya”.
Pemikiran kesufian yang ditampilkan Sunan Kalijaga adalah tentang konsep zuhud.
Pemikiran zuhud-nya bermula dari upaya membangun kesadaran masyarakat
pada arti bekerja dan beramal. Orang harus bekerja apa saja asalkan
layak bagi martabat manusia. Bekerja untuk memperoleh makanan yang halal
dan pantas untuk diri dan keluarganya. Manusia berupaya keras untuk
memperoleh kekayaan, tetapi tetap diingatkan agar tidak hidup mewah dan
royal terhadap harta. Harta kekayaan yang dimiliki sesungguhnya untuk
menunaikan kewajiban zakat, haji, sosial, dan ibadah lainnya.
Mencari
harta dan kekayaan tidak boleh menggunakan jalan tercela dan serakah.
Oleh sebab itu, sekalipun harta dunia ini penting, tetapi harus
diperoleh dengan cara yang halal dan menjuhi cara yang haram, bahkan
syubhat. Dibanding dengan keutamaan akhirat maka dunia macam apapun
sesungguhnya sangat kecil. Itulah arti sikap zuhud yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga.
7. Sunan Kudus atau Ja’far Sadiq (lahir di Kudus pada abad ke-15 dan wafat tahun 1550). Menurut
silsilahnya, Sunan Kudus atau Ja’far Sadiq masih mempunyai hubungan
keturunan dengan Nabi Muhammad SAW. Silsilah lengkapnya adalah Ja’far
Sadiq bin Raden Usman Haji bin Raja Pendeta bin Ibrahim as-Samarkandi
bin Maulana Muhammad Jumadilkubra bin Zaini al-Husein bin Zaini al-Kubra
bin Zainul Alim bin Zainal Abidin bin Sayyid Husein bin Ali ra. Diantara para Wali Songo, Sunan Kudus mendapat julukan wali al-‘ilmi
(orang yang luas ilmunya). Oleh karena itu, ia didatangi oleh banyak
penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara. Ia juga pernah menjadi
Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia juga pernah menciptakan berbagai
cerita keagamaan dan yang paling terkenal adalah Gending Maskumambang dan Mijil.
8. Sunan Muria atau Raden Umar Said atau Raden Prawoto (lahir abad ke-15). Ia adalah putra Sunan Kalijaga dan berjasa menyiarkan Islam di pedesaan-pedesaan pulau Jawa. Dijuluki
Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya di Gunung
Muria. Dalam rangka berdakwah melalui budaya ia menciptakan tembang
dakwah Sinom dan Kinanti.
Sunan
Muria mencerminkan seorang sufi yang zuhud, yang memandang sangat kecil
pada dunia ini. Oleh sebab itu, ia tidak silau terhadapnya. Tugasnya
sehari-hari adalah mengasuh dan mendidik para santri yang ingin
menyelami ilmu tasawwuf, didampingi oleh putranya Raden Santri. Seperti
halnya sufi-sufi yang lain, Sunan Muria mencermin kan pribadi yang
menempatkan rasa cintanya kepada Allah diatas
segala-galanya. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk beribadah kepada
Allah SWT. Ia melihat sekeliling dengan empat mata; dua mata di kepala
untuk melihat dunia di sekitarnya dan dua mata di hatinya untuk melihat
kebenaran dan kemuliaan. Cahaya pandangnya senantiasa jauh menembus ke
alam yang tak terjangkau oleh akal pikiran. Ia selalu memohon kepada
Allah : “Ya Tuhan, beri aku cahaya dan tambahkan cahaya itu. Beri
aku cahaya di hati, telinga, mata, rambut, daging, dan tulang, bahkan
disetiap butiran darah dan sel-sel syaraf sekalipun”.
Sunan Muria menumpahkan ibadahnya dengan bermunajat kepada Allah SWT. Dia juga
mengajarkan tata krama dzikir kepada kepada Allah. Dibawah bimbingannya
orang-orang membenamkan dirinya untuk berdzikir kepada Allah. Hatinya
senantiasa ingat kepada Allah, dan lisannya tak pernah kering
mengucapkan kalimah Laa ilaaha illallah . Tangannya tak henti-hentinya menghitung butiran-butiran tasbih, terkadang diiringi goyangan badannya dari kanan ke kiri sebanyak hitungan dzikir yang dilisankan dengan suara pelan dan syahdu.
Sunan
Muria bersama santrinya mengisi hari-hari senggang nya di Tanjung
Jepara yang terpencil dari keramaian duniawi untuk berdzikir dan
berdo’a.
9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
(lahir di Mekkah tahun 1448 dan wapat di Gunung Jati, Cirebon Jawa
Barat). Ia banyak berjasa menyebarkan Islam di Pulau Jawa, terutama di
Jawa Barat. Ia adalah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan Banten.
Sunan Gunung Jati adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Dari
perkawinan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang, lahirlah Raden
Walangsung sang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sengara. Dari Nyai Lara
Santang lahirlah Syarif Hidayatullah. Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati
mengembangkan agama Islam kedaerah lain di Jawa Barat seperti ;
Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa dan Banten. Ia
meletakkan dasar pengembangan Islam dan perdagangan orang-orang Islam di
Banten tahun 1525 atau 1526. Ketika kembali ke Cirebon, Banten
diserahkan kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin yang kemudian
menurunkan raja-raja Banten. Sunan Gunung Jati mendapat penghormatan
dari raja-raja lain di Jawa, seperti Demak dan Pajang, ia diberi gelar Raja Pandita karena kedudukannya sebagai raja dan ulama.
Baca Juga Yang Lainnya Tentang :