Darryl Granger, professor sains kebumian dan atmosfer Purdue, berdiri di samping spektrometer pemercepat massa yang dipakai dalam sebuah studi yang menentukan usia manusia peking sekitar 200 ribu tahun lebih tua dari yang diperkirakan. Purdua adalah satu2nya universitas di AS yang memiliki spektrometer pemercepat massa yang cukup kuat untuk melakukan tipe pengujian yang dipakai dalam studi ini. (Credit: Purdue News Service photo/Andrew Hancock) ScienceDaily (Mar. 13, 2009) — Sebuah teknik penentuan usia terbaru menemukan kalau "Manusia PEking" sekitar 200 ribu tahun lebih tua dari diduga sebelumnya, menunjukkan kalau ia teradaptasi dengan periode dingin dari zaman es sedang.
Sebuah metode penentuan usia yang dikembangkan oleh seorang peneliti Purdue University memungkinkan penentuan lebih teliti dari usia Zhoukoudian, China, situs sisa-sisa Homo erectus, yang dikenal sebagai "Manusia Peking". Situs ini ditemukan berusia 680-780 ribu tahun. Pendekatan sebelumnya memperkirakan usia ini 230 - 500 ribu tahun.
Darryl Granger, profesor sains kebumian dan atmosfer Purdue yang mengembangkan metode penentuan usia ini, membuat studi bersama dengan Guanjun Shen dari China's Nanjing Normal University. Mereka menganalisa empat alat batu dan enam sampel sedimen dari situs itu.
"Ini adalah penentuan waktu pertama dengan cara ini dipakai pada situs manusia purba di China," kata Granger. "Banyak metode data yang ada bertopang pada keberadaan batuan vulkanis, yang tidak dimiliki situs Zhoukoudian. MEtode ini memberi alat baru untuk mengintip pada tempat di mana penentuan usia sebelumnya terbatas."
Susan C. Antón, professor di Center for the Study of Human Origins di New York University mengatakan kalau penemuan ini menunjukkan kalau "Manusia Peking" secara perilaku mampu berhadapan dengan lingkungan dingin.
"Ada bukti kalau Homo erectus telah secara fisik teradaptasi dengan dingin, namun mereka juga memiliki perilaku untuk mengatasi dingin di masa es di China utara," katanya. "Tidak ada cukup bukti adanya api atau jenis pakaian atau kulit lain, namun bukti demikian tidak dapat bertahan lama dan tidak akan terlestarikan dalam periode arkeologis. Ini tidak berarti kalau mereka tidak punya, namun kita tidak punya jawaban pasti."
Homo erectus dipandang sebagai spesies leluhur manusia dan spesies pertama yang meninggalkan Afrika dan pindah ke Asia. Situs "Manusia Peking", ditemukan pada akhir 1920An, adalah salah satu tempat pertama ditemukannya Homo erectus dan membentuk pemikiran mengenai usia dan perilaku spesies ini, kata Anton.
Grangermemakai penentuan usia radioisotop aluminum-26 dan beryllium-10 ,yang berdasarkan pada peluruhan radioaktif pada mineral quartz. Saat sinar kosmik memasuki batuan pada permukaan bumi, reaksi kimia menghasilkan isotop aluminium dan berilium ini. Bila batuan itu kemudian terkubur, isotop tidak lagi terbentuk dan yang ada akan mulai meluruh. Tingkat peluruhan ini dapat memberi tahu ilmuan kapan batuan itu ada di situs itu, katanya.
Granger mengembangkan metode ini tahun 1997 dan memakainya pertama untuk karya geomorfologi pada gua di Virginia, namun ia menyadari kalau ia dapat digunakan pada situs manusia purba dalam memahami evolusi manusia. Seorang kolega di Cina menghubungu Granger dan memintanya memeriksa situs Zhoukoudian.
Purdue Rare Isotope Measurement Laboratory, yang didanAi oleh National Science Foundation, adalah satu dari dua lab di negara ini yang memiliki alat yang mampu melakukan penentuan usia ini. Fasilitas ini memuat sebuah spektrometer pemercepat massa yang dapat melakukan analisis ultra sensitif untuk mengukur tingkat rendah unsur jejak pada sampel.
Metode penentuan usia berdasarkan uranium telah dipakai pada situs ini, namun tampak hasilnya terlalu muda, mungkin karena uranium larut dalam air tanah, kata Granger.
Penulis paper ini lainnya adalah Guanjun Shen and dan Bin Gao dari College of Geographical Sciences at Nanjing Normal University dan Xing Gao dari Institute of Vertebrate Paleontology and Paleoanthropology di Academia Sinaca di Beijing.
Tim riset kesulitan dalam memisahkan quartz dari sampel sedimen, dan Shen dan Gao melibatkan seluruh jurusannya dalam studi ini, kata Granger. Sedimen yang ada memuat 1% quartz, dan metode penentuan usia memerlukan quartz putih murni.
"Mereka menghasilkan potongan-potongan quartz seukuran butiran pasir," katanya. "Perlu sekitar 8 jam untuk memisahkan 2 gram quartz putih murni yang diperlukan, dan tiap sampel memerlukan 40 sampai 60 gram. Untungnya alat batu yang kami analisis terbuat sepenuhnya dari quartz putih."
Granger dan Shen selanjutnya berencana meneliti situs manusia purba lainnya di Cina.
Proyek ini didukung bersama oleh National Natural Science Foundation of China dan Wenner-Gren Foundation. Zhoukoudian Site Museum menyediakan alat batu yang diteliti.
Selamat mencoba , semoga bermanfaat dan berguna untuk anda..copy paste di bolehkan, asal tidak menjelek2kan artikel ini yang telah dibuat.Terima kasih telah berkunjung di Ihsan_blogs ..
created by IHSAN.