Selasa, 12 Oktober 2010

Mengenal Lebih Jauh Mengenai Wali Songo


Keberhasilan penyebaran Islam di Jawa tidak lepas dari peran Ulama Sufi  yang tergabung dengan Wali Songo. Proses Islamisasi yang dilakukan Wali Songo berlansung pada abad ke-15 (masa kesultanan Demak).
Kata Wali, berarti : pembela, teman dekat, dan pemimpin. Dalam hal ini biasa diartikan sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT (Waliyullah). Sedangkan kata Songo  (bahasa Jawa) berarti sembilan. Jadi secara umum Wali Songo berarti sembilan Wali yang dianggap telah dekat dengan Allah SWT., yang terus menerus beribadah kepada-Nya, dan memiliki kekeramatan (kemuliaan, keistimewaan, atau keluarbiasaan)  dan kemampuan diluar kebiasaan manusia.
Mereka yang tergolong Wali Songo tersebut adalah :
1.  Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (wapat di Gresik tahun 1441 M). Sebelum datang ke Jawa, ia menetap di Kerajaan Pasai atau Perlak di Aceh. Menurut sumber sejarah, salah seorang raja Kerajaan Campa mempunyai beberapa orang putri. Salah seorang putri itu dijadikan istri Raja Majapahiat, Sri Kertawijaya, yang memerintah Kerajaan Majapahi. Perkawinan itu melahirkan Arya Damar, Adipati Sriwijaya. Putri lain dari Raja Campa itu dikawinkan dengan Maulana Malik Ibrahim, dari hasil perkawinannya itu kemudian melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel).
2.  Sunan Ampel atau Raden Rahmat (lahir di Campa, Aceh tahun 1401 dan wapat di Ampel tahun 1481). Beliau adalah penerus cita-cita dan perjuangan Maulana Malik Ibrahim, dan terkenal sebagai perancang pertama kerajaan Islam di Jawa, dan dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak. Ia memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren pertama di Jawa Timur, yaitu Pesantren Ampel Denta di dekat Surabaya. Di pesantren inilah Sunan Ampel mendidik para pemuda Islam untuk menjadi da’i yang akan disebar ke seluruh Jawa. Diantara pemuda yang dididiknya antara lain ; Raden Paku yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Giri, Raden Fatah (putra Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit) yang menjadi sultan pertama kesultanan Islam di Bintoro (Demak), Raden Makhdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri) yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Bonang, Syarifuddin yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Drajat, Maulana Ishak yang diutus untuk mengislamkan Blambangan.
3. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim (lahir di Ampel, Surabaya tahun 1465 dan wapat di Tuban tahun 1525). Ia dianggap sebagai pencipta gending pertama untuk mengembangkan Islam di pesisir utara Jawa Timur. Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak dan kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang dan musik gamelan. Syair lagu gamelan ciptaan wali berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Setiap bait lagu diselingi syahadatain dan gamelan yang mengiringinya disebut sekaten.
4.  Sunan Giri atau Raden Paku atau Sultan Abdul Fakih (lahir di Blambangan pada pertengahan abad ke-15 dan wapat di Giri tahun 1506). Ia adalah putra Maulana Ishak. Salah seorang saudaranya juga termasuk Wali Songo yaitu Raden Abdul Kadir (Sunan Gunung Djati). Dalam perjalanan ibadah haji ke Mekkah Sunan Giri dan Sunan Bonang  mampir di Pasai untuk memperdalam pengetahuan keislaman. Ketika itu Pasai menjadi tempat berkembangnya Ilmu Tauhid, Keimanan dan Ilmu Tasawwuf. Disini ia menemukan Ilmu Laduni  sehingga gurunya memberi anugerah gelar ‘Ainul Yaqin. Ia banyak mengirim juru dakwah ke luar jawa seperti : Madura, Bawean, Kangean, Ternate, dan Tidore.
Sunan Giri terkenal sebagai lambang pemersatu bangsa Indonesia yang dirintis pada abad ke-15 Masehi. Jika Gajah Mada dipandang sebagai pemersatu bangsa dengan kekuatan meliter dan politiknya, maka Sunan Giri dikenal dengan ilmu dan pengembangan pendidikannya.
5.  Sunan Drajat atau Raden Kosim atau Syarifuddin (lahir di Ampel Denta, sekitar tahun 1470 dan wapat di Sedayu Gresik pada pertengahan abad ke-16). Hal paling menonjol dalam dakwah Sunan Drajat adalah perhatiannya yang sangat serius pada masalah-masalah sosial sehingga ia dikenal berjiwa sosial. Ia juga dikenal sebagai pencipta tembang Jawa, yaitu tembang Pangkur yang hingga sekarang masih banyak digemari masyarakat.
 Pemikiran kesufian Sunan Drajat yang menonjol adalah upaya menyadarkan manusia dari ambisi jabatan dan kedudukan yang akan mendorong manusia untuk menikmati dunia dengan pola hidup berfoya-foya dan memuaskan nafsu perut. Ia berpendapat, perut adalah sumber segala syahwat dan penyakit jasmani dan rohani. Jika perut diisi makanan dan minuman enak, timbulah nafsu serakah, yang kemudian timbullah nafsu-nafsu yang lain, seperti ; syahwat kelamin, permabukan, perjudian, dan lain-lain.
 Karena pola hidup mewah harus dicapai dengan jalan menguasai pangkat dan kedudukan, maka orang berlomba mengejar pangkat dan kedudukan meskipun dengan jalan kezholiman, kecurangan dalan politk dan makar. Untuk itulah Sunan Drajat selalu menyuruh santrinya agar memelihara perutnya; makan dan minum sekedar yang dibutuhkan bagi kesehatan jasmani dan rohani dan tidak berlebihan. Makan dan minum tidak sembarangan tetapi yang suci dan halal agar  zat-zat darah yang terbentuk darinya menjadi bersih untuk perbuatan anggota badan sehingga menumbuhkan kejernihan berfikir. Diingatkannya, bahwa perut yang kenyang dapat menjadi sumber segala penyakit dan menyebabkan otak menjadi tumpul, malas berfikir, dan malas menjalankan ibadah kepada Allah.
 Kepada pembesar negara, Sunan Drajat menasihati mereka agar selalu memperhatikan kesejahteraan rakyat.
6. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Syahid (lahir akhir abad ke-14 dan wafat pada  pertengahan abad ke-15). Beliau terkenal sebagai wali yang berjiwa besar, berwawasan luas, berpikiran tajam dan intelek, dan berasal dari suku Jawa asli.  Daerah operasi dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas, bahkan sebagai muballigh ia berkeliling dari satu daerah ke daerah yang lain. Karena dakwahnya yang intelek para bangsawan dan cendikiawan sangat simpati kepadanya, termasuk lapisan  masyarakat awam dan penguasa. Dalam melaksanakan pemerintahan Demak, Raden Fatah sangat menghargai nasihat-nasihat Sunan Kalijaga. Ia juga sangat berjasa dalam perkembangan wayang purwa atau wayang kulit yang bercorak islami. Ia juga berjasa dalam membuat corak batik bermotif burung (kukula). Kata tersebut ditulis dalam bahasa Arab menjadi qu dan qila, yang berarti “Peliharalah ucapanmu sebaik-baiknya”.
 Pemikiran kesufian yang ditampilkan Sunan Kalijaga adalah tentang konsep zuhud. Pemikiran zuhud-nya bermula dari upaya membangun kesadaran masyarakat pada arti bekerja dan beramal. Orang harus bekerja apa saja asalkan layak bagi martabat manusia. Bekerja untuk memperoleh makanan yang halal dan pantas untuk diri dan keluarganya. Manusia berupaya keras untuk memperoleh kekayaan, tetapi tetap diingatkan agar tidak hidup mewah dan royal terhadap harta. Harta kekayaan yang dimiliki sesungguhnya untuk menunaikan kewajiban zakat, haji, sosial, dan ibadah lainnya.
 Mencari harta dan kekayaan tidak boleh menggunakan jalan tercela dan serakah. Oleh sebab itu, sekalipun harta dunia ini penting, tetapi harus diperoleh dengan cara yang halal dan menjuhi cara yang haram, bahkan syubhat. Dibanding dengan keutamaan akhirat maka dunia macam apapun sesungguhnya sangat kecil. Itulah arti sikap zuhud  yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga.
7.  Sunan Kudus atau Ja’far Sadiq (lahir di Kudus pada abad ke-15 dan wafat tahun 1550).  Menurut silsilahnya, Sunan Kudus atau Ja’far Sadiq masih mempunyai hubungan keturunan dengan Nabi Muhammad SAW. Silsilah lengkapnya adalah Ja’far Sadiq bin Raden Usman Haji bin Raja Pendeta bin Ibrahim as-Samarkandi bin Maulana Muhammad Jumadilkubra bin Zaini al-Husein bin Zaini al-Kubra bin Zainul Alim bin Zainal Abidin bin Sayyid Husein bin Ali ra. Diantara para Wali Songo,  Sunan Kudus mendapat julukan wali al-‘ilmi (orang yang luas ilmunya). Oleh karena itu, ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara. Ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia juga pernah menciptakan berbagai cerita keagamaan dan yang paling terkenal adalah Gending Maskumambang dan Mijil.
8. Sunan Muria atau Raden Umar Said atau Raden Prawoto (lahir abad ke-15).  Ia adalah putra Sunan Kalijaga dan berjasa menyiarkan Islam di pedesaan-pedesaan pulau Jawa.  Dijuluki Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya di Gunung Muria. Dalam rangka berdakwah melalui budaya ia menciptakan tembang dakwah Sinom dan Kinanti.
 Sunan Muria mencerminkan seorang sufi yang zuhud, yang memandang sangat kecil pada dunia ini. Oleh sebab itu, ia tidak silau terhadapnya. Tugasnya sehari-hari adalah mengasuh dan mendidik para santri yang ingin menyelami ilmu tasawwuf, didampingi oleh putranya Raden Santri. Seperti halnya sufi-sufi yang lain, Sunan Muria mencermin kan pribadi yang menempatkan rasa cintanya kepada Allah  diatas segala-galanya. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk beribadah kepada Allah SWT. Ia melihat sekeliling dengan empat mata; dua mata di kepala untuk melihat dunia di sekitarnya dan dua mata di hatinya untuk melihat kebenaran dan kemuliaan. Cahaya pandangnya senantiasa jauh menembus ke alam yang tak terjangkau oleh akal pikiran. Ia selalu memohon kepada Allah : “Ya Tuhan, beri aku cahaya dan tambahkan cahaya itu. Beri aku cahaya di hati, telinga, mata, rambut, daging, dan tulang, bahkan disetiap butiran darah dan sel-sel syaraf sekalipun”.
  Sunan Muria menumpahkan ibadahnya dengan bermunajat kepada Allah SWT. Dia  juga mengajarkan tata krama dzikir kepada kepada Allah. Dibawah bimbingannya orang-orang membenamkan dirinya untuk berdzikir kepada Allah. Hatinya senantiasa ingat kepada Allah, dan lisannya tak pernah kering mengucapkan kalimah Laa ilaaha illallah . Tangannya tak henti-hentinya menghitung butiran-butiran tasbih, terkadang diiringi goyangan  badannya dari kanan ke kiri sebanyak hitungan dzikir yang dilisankan dengan suara pelan dan syahdu.
  Sunan Muria bersama santrinya mengisi hari-hari senggang nya di Tanjung Jepara yang terpencil dari keramaian duniawi untuk berdzikir dan berdo’a.
9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah (lahir di Mekkah tahun 1448 dan wapat di Gunung Jati, Cirebon Jawa Barat). Ia banyak berjasa menyebarkan Islam di Pulau Jawa, terutama di Jawa Barat. Ia adalah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan Banten. Sunan Gunung Jati adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Dari perkawinan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang, lahirlah Raden Walangsung sang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sengara. Dari Nyai Lara Santang lahirlah Syarif Hidayatullah. Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan agama Islam kedaerah lain di Jawa Barat seperti ; Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa dan Banten. Ia meletakkan dasar pengembangan Islam dan perdagangan orang-orang Islam di Banten tahun 1525 atau 1526. Ketika kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin yang kemudian menurunkan raja-raja Banten. Sunan Gunung Jati mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti Demak dan Pajang, ia diberi gelar Raja Pandita    karena kedudukannya sebagai raja dan ulama.
 
kirim komentar anda melalui emai disini

Baca Juga Yang Lainnya Tentang :

Kata Mereka