Bagi sebagian masyarakat, khitan pada perempuan harus dilakukan karena bagian dari keyakinan dan budaya yang harus dilestarikan. Namun, dipandang dari sisi kesehatan, khitan bagi perempuan dinilai tidak bermanfaat dan dapat membahayakan kondisi kesehatan.
Menurut dr Artha Budi Susila Duarsa, MKes, dari Lembaga Studi Kependudukan dan Gender Universitas YARSI, Jakarta, melakukan khitan secara simbolis mungkin dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
"Semacam mengoles preposium (kulup) dengan kunyit atau betadine. Hal ini hanya untuk menyalurkan keyakinan dari orangtua bahwa anaknya sudah dikhitan. Padahal sebenarnya tidak dikhitan, namun dikhitan secara simbolik. Meski masih menjadi perdebatan, namun dinilai itu salah satu jalan keluarnya," kata dr Artha, Selasa (27/7/2010) pada peluncuran buku Khitan Perempuan: Dari Sudut Pandang Sosial, Budaya, Kesehatan, dan Agama.
Meskipun pemerintah melarang melakukan khitan karena melanggar UU Kekerasan terhadap Perempuan, proses khitan masih dilakukan di beberapa rumah sakit karena tumpang tindih dengan fatwa MUI yang meminta wanita muslim untuk dikhitan.
"Karena aspek keinginan masyarakat yang tinggi, maka proses khitan masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi di rumah sakit dan klinik oleh dokter dan bidan," kata dr Artha, yang melakukan riset bersama peneliti lain dari Fatayat Nahdlatul Ulama dan The International Islamic Center for Population Research and Studies Universitas Al Azhar Kairo.
Khitan sendiri, dinilai dr Artha, tidak bermanfaat. "Khitan bagi perempuan tidak ada manfaatnya sama sekali. Karena itu, fakultas kedokteran tidak ada yang mengajarkan khitan untuk wanita. Kecil atau tidaknya tindakan yang dilakukan, karena berada dalam area sensitif wanita, dinilai sangat berbahaya. Mulai dari pembedahan sampai anastesi, yang paling parah dari khitan bisa menimbulkan kematian," kata dr Artha.
Namun sebaliknya, meskipun bahaya khitan sangat tinggi, tetapi persentase khitan meningkat 10 persen dari tahun lalu.