Kisah-kisah yang terukir dalam sejarah Sukarno, menunjukkan posisinya yang piawai sebagai negarawan tulen. Ia terus berteriak dan berteriak menyuarakan kemerdekaan, meski berbalas kerangkeng penjara dan sepinya pembuangan. Ia melancarkan aksi diplomasi yang rapi, sehingga Jepang tak berbuat satu tindakan pun saat Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Pasca kemerdekaan, kita mengenal istilah Agresi Belanda kedua. Setelah Sekutu berhasil merontokkan dominasi Jepang di Asia dan Asia Tenggara, Belanda segera melancarkan aksi sipil menduduki kembali negara jajahan yang ia namakan Hindia Belanda. Sementara bagi kita, Hindia Belanda sudah terkubur, seketika bersamaan tertancapnya sang saka merah putih, panji Republik Indonesia.
Fase ini disebut sebagai fase perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Masyarakat baru mengakui manfaat Bung Karno menyetujui pembentukan PETA. Dengan begitu, sejatinya kita sudah memiliki pemuda-pemuda tangguh dengan kemampuan tempur. Laskar-laskar yang gagah berani, siap menghadang tentara Sekutu yang hendak merampas kemerdekaan yang sudah digaungkan. Slogan yang membakar dada setiap anak bangsa: “SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA!”, “MERDEKA ATAU MATI”.
Menyongsong mendaratnya kembali Sekutu di bumi Indonesia, Bung Karno sekali lagi, menunjukkan karakter yang kuat sebagai lokomotif perjuangan bangsa. Ia mengatur strategi perlawanan, mulai dari perlawanan diplomasi sampai ke perlawanan bersenjata.
Bung Karno bahkan muncul secara spontan pada moment-moment tertentu, menunjukkan heroisme yang berkobar-kobar. Berikut adalah salah satu peristiwa yang terjadi di Magelang, yang dikutip oleh Bagin dalam bukunya “Pemahaman Saya tentang Ajaran Bung Karno.”
Tersebutlah suatu waktu menjelang tahun 1946 di Magelang, Jawa Tengah. Bung Karno mendengar seorang anak menjadi tawanan di markas tentara Sekutu. Ia menuju ke Magelang. Setiba di depan markas serdadu Inggris tempat seorang anak Indonesia ditawan, Bung Karno berhenti. Ia berjalan tegap dan mantap menuju pintu gerbang benteng serdadu Inggris dengan satu tekad: Membebaskan seorang anak yang ditahan musuh.
Langkahnya makin mendekati jarak sasaran tembak, ketika terdengar teriakan, “Jangan tembak!” Siapa pun serdadu yang berteriak melarang pasukannya menembak “seseorang” yang datang menyetor nyawa, betapa pun telah melemahkan nafsu menembak setiap prajurit yang sudah membidik. Faktanya, memang tak satu peluru pun dimuntahkan oleh prajurit-prajurit Sekutu.
Sebaliknya, Bung Karno masuk dan sebentar kemudian sudah keluar membawa seorang anak belasan tahun yang menjadi tawanan serdadu Inggris.
Peristiwa itu meneguhkan sosok Sukarno yang cinta sesama. Peristiwa itu mengukuhkan pribadi Sukarno yang sukarela menawarkan nyawanya untuk ditukar dengan seorang tawanan anak. Kisah itu, tidak hanya merasuk menyemangati setiap prajurit bersenjata bambu runcing, tetapi juga terdengar hingga ke telinga para jenderal Sekutu.
Hanya Sukarno. Ya, Sukarno saja yang membukukan kisah itu dalam lembar sejarah perjuangan bangsa.