Sukamiskin adalah kerangkeng bagi tubuh Sukarno. Ende adalah belenggu bagi jiwa Sukarno. Dalam masa pembuangan di Pulau Bunga antara 1934 – 1938 itu, tahun pertamalah yang ia rasakan sebagai tahun paling berat. Ia –dan keluarganya– begitu dikucilkan. Ia dijauhi laiknya sebuah penyakit menular. Ia dikucilkan justru oleh orang-orang yang mengenalnya. Mereka tidak mau ambil risiko berurusan dengan polisi Belanda.
Kaki Sukarno hanya boleh melangkah dalam radius lima kilometer dari rumah pembuangannya. Seorang polisi berpakaian preman, akan berada pada jarak 60 meter dari dirinya. Ke mana pun Sukarno pergi, polisi itu menjadi bayang-bayang abadi.
Dalam “curhat”nya kepada Cindy Adams, Bung Karno menyatakan betapa perih jiwanya, betapa luka hatinya. Hantaman rindu Pulau Jawa, menghantam-hantam rongga dada dan ruang kepala. Sekalipun begitu, sebagai pimpinan keluarga, tak sekali pun ekspresi duka ia tampakkan di hadapan Ibu Amsi sang mertua, Inggit Garnasih sang istri, dan Ratna Djuami sang anak angkat.
Nah, di saat ia tiada kawan, di saat hati mendendam rindu kampung halaman, di saat ketegarannya terkikis pelan, di saat itu pula ia dihantam peristiwa duka mendalam. Ibu Amsi sang mertua yang baik hati, meninggal dunia di atas pangkuannya. Dikisahkan, pada suatu malam, Ibu Amsi pergi tidur. Esok paginya, ia tidak bangun-bangun. Keesokan harinya pun tidak bangun. Di hari berikutnya lagi pun tidak.
Bung Karno, dalam kecemasan yang sangat, mengguncang-guncang tubuh Ibu Amsi dengan keras… akan tetapi, di pagi 12 Oktober 1935, setelah lima hari dalam keadaan tidur, ia pergi dengan tenang dalam keadaan belum sadar. Duka itu begitu mendalam.
Sukarno pula yang kemudian membawanya ke kuburan. Tangan Sukarno pula yang membangun dinding kuburan dengan batu-tembok. Tangan Sukarno-lah yang mencari batu kali, memotong dan mengasahnya untuk batu nisan di pusara Ibu Mertua. Dadanya makin sesak saat kaki-kaki menapak jalan sempit menuju pemakaman yang jauh di dalam hutan.
Sukarno berduka bersama Inggit dan Ratna Djuami, ditemani satu-dua rakyat jelata saja.