Tahun 1980-an, saya menghabiskan banyak waktu di sanggar Teater Alam, Jl. Sawojajar, Yogyakarta, pimpinan Azwar AN. Suatu sore, kami kedatangan seorang sastrawan, sekaligus akademisi nyentrik. Sebagai sanggar teater, kedatangan seorang sastrawan atau seniman adalah hal biasa. Tetapi yang ini sedikit berbeda. Dia adalah Ragil Suwarna Pragolapati.
Sastrawan kelahiran Pati, Jawa Tengah itu, kebetulan juga seorang ahli membaca tanda tangan, atau biasa disebut grafolog. Maka, tema diskusi lesehan sore itu adalah “membaca tanda tangan”. Satu per satu anggota sanggar maju dan menuliskan tanda tangannya, kemudian ia membacanya dengan “hampir 100 persen tepat”.
“Anda orang yang kuat, tidak mudah putus asa,” ia memulai membaca tanda tangan salah satu rekan. Kemudian ia baca tanda tangan yang lain, “Yang ini orangnya sederhana, tetapi memiliki langkah hidup yang mendasar, sedangkan yang ini…,” ia menunjuk tanda tangan yang lain lagi, “Wah… ini benar-benar jelek. Ini tipikal orang yang gemar membantu orang lain, tetapi dirinya sendiri hancur….”
Selama sesi “membaca tanda tangan”, suasana benar-benar hidup. Terlebih cara Ragil Suwarna Pragolapati membawakan materi, sungguh meyakinkan. Kebetulan pula, apa yang ia bacakan, mendekati tepat. Padahal, ini adalah kunjungan pertama Ragil ke sanggar kami. Itu artinya, kami belum saling mengenal lebih dalam.
Sesi pun bergulir ke materi, “membuat tanda tangan yang baik” menurut Ragil. Tanda tangan seseorang, kata dia, bisa mempengaruhi kepribadian si penggoresnya. Lebih “menyeramkan”, kata Ragil, tanda tangan juga bisa menentukan jalan hidup seseorang ke depan…. Belive it or not.
Singkatnya, saya termasuk satu di antara hampir semua anggota sanggar Teater Alam yang mengganti tanda tangan sore itu juga. Apalagi, setelah tanda tangan saya, saya tuliskan di atas kuadran plus-minus made in Ragil Suwarna. Kesimpulannya, permulaan tanda tangan, keterbacaan tanda tangan, dan karakter tanda tangan saya banyak berada di kuadran minus. “Celaka,” pikir saya ketika itu, sambil mencorat-coret tanda tangan baru, sehingga lebih baik –sekali lagi– menurut Ragil Suwarna Pragolapati. Dan, tanda tangan saya yang sekarang, asli dipengaruhi peristiwa sore hari itu.
Bagaimana dengan tanda tangan Soekarno? Inilah inti postingan ini. Sebab, Ragil kebetulan juga mencomot tanda tangan sejumlah orang besar. Salah satunya, tanda tangan Sukarno seperti tampak di ilustrasi atas. Cukup panjang analisa dia terhadap tanda tangan Bung Karno, tapi inti yang saya tangkap ada tiga. Dan ketiga inti tanda tangan Sukarno itu, pada tahun 1980-an, baru dua yang bisa terbaca dan terbukti.
Pertama, huruf “S” pada “Soekarno” ditulis dengan beberapa kali pengulangn tarikan, sehingga mengesankan ribet atau rumit. Ragil memaknai sebagai perjalanan Sukarno yang dimulai dari kondisi yang sangat rumit. Sejarah telah mencatat, bagaimana Sukarno hidup susah di waktu kecil dan remaja, dan hidup penuh tantangan pula di masa muda sebagai penggerak roda revolusi bangsa. Ia masuk-keluar penjara, ia dibuang dan diasingkan, dan kisah-kisah buruk yang melilit Sukarno pada fase awal.
Kedua, huruf-huruf selanjutnya pada tanda tangan Sukarno, terbaca gamblang, sehingga secara keseluruhan kita bisa baca sebagai nama dia. Ini adalah simbol Sukarno orang yang terbuka, jelas dan tegas langkahnya, lurus kepribadiannya, teguh pada prinsip dan sikap-sikap transparan lain. Dari beberapa literatur bisa kita ketahui, Sukarno lantang menentang penjajahan. Sekeluar dari penjara Sukamiskin, ia masih juga menyuarakan kemerdekaan. Tidak seorang pun bisa membuatnya diam.
Sekalipun, seorang awak kapal menawarinya kabur dari pembuangan dan berjuang di bawah tanah, sekali lagi, Bung Karno menolak. Ia berdalih, cara Sukarno bukan berjuang di bawah tanah. Ia muncul sebagai simbol yang mudah terbaca oleh seluruh rakyat Indonesia. Mudah terbaca, seperti tanda tangannya.
Ketiga, ini yang di tahun 80-an masih teka-teki. Ragil menunjuk tambahan pada tanda tangan berupa “titik” dan “garis sambung”. Ragil memaknai karier dan hidup Bung Karno akan berakhir tragis. Tiba-tiba. Mendadak. Habis. “Titik”. Akan tetapi, garis sambung di belakang titik adalah suatu makna, bahwa pada akhirnya, namanya akan kembali muncul, berkibar selama-lamanya di bumi Indonesia.
Point ketiga tadi terbukti pada kampanye 1999, belasan tahun kemudian sejak Ragil membacanya di Sanggar Teater Alam. Nama Bung Karno menjadi ikon pemersatu massa marhaen, poster dan gambar Bung Karno kembali berkibar menggelorakan memori bangsa, dan mengantarkan PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri memenangi Pemilu, bahkan kemudian mengantar Megawati ke kursi kepresidenan. Meski akhirnya rakyat tahu, Megawati BUKAN Sukarno!
Kembali ke tahun 80-an, saat saya mendengar Ragil membaca tanda tangan Sukarno, suasana politik desukarnoisasi masih intens dilakukan pemerintahan Soeharto. Bahkan Tap MPR XXXIII yang berisi larangan ajaran Bung Karno, menjadi momok bagi siapa saja yang mencoba membangkit-bangkitkan ajaran Bung Karno. Hingga hari ini, Tap MPR yang konyol itu belum juga dicabut.