Drs. Mochamad Achadi, adalah Menteri Transmigrasi dan Koperasi pada Kabinet Dwikora (1964 – 1966). Dia termasuk salah seorang Sukarnois yang teraniaya. Pemerintahan Soeharto menyita rumah dan hartanya, lantas menjebloskannya ke penjara belasan tahun tanpa pengadilan!
Saya mengenal beliau secara pribadi sejak tahun 2004. Dari pria sepuh yang masih energik berkat yoga itu, saya mendapatkan banyak cerita tercecer di sekitar Bung Karno. Pelaku sejarah, sekaligus eks tentara pelajar yang bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia di wilayah Gombong, Kebumen ini, masih enggan menuliskan memoar tentang dirinya.
Dalam setiap percakapan dengan Achadi, manakala dia berkisah tentang Bung Karno, saya menyerapnya dengan haus. Maklumlah, dia adalah salah satu pelaku sejarah. Dia bertutur tentang dirinya dan Bung Karno. Bagaimana mungkin saya bisa abai?
Ada banyak kisah dituturkan Achadi tentang Bung Karno, mulai dari kisah heroik hingga yang unik dan menarik. Salah satunya adalah saat ia duduk di mobil kepresidenen berdua Bung Karno di bangku belakang. Di depan, sopir dan ajudan berkonsentrasi membawa Bung Karno dan Achadi dari Bogor menuju Jakarta.
Di belakang, Achadi asyik ngobrol bersama Bung Karno, hingga tiba saat ketika Bung Karno melepas pecinya. Peci hitam lambang nasionalisme Indonesia yang telah ia perkenalkan ke seluruh penjuru dunia itu, kini tidak lagi menutupi kepala Bung Karno yang mulai botak.
Spontan Achadi teringat, betapa orang-orang di sekitar Bung Karno, sampai rakyat jelata di warung kopi, begitu antusias jika berkisah soal peci Bung Karno. Sama antusiasnya dengan topik mengenai tongkat komando dan kacamata hitam yang juga menjadi ciri penampilan Bung Karno.
Begitu kharismatiknya Bung Karno, sehingga apa-apa yang melekat pada dirinya, sering kali dihubung-hubungkan dengan peristiwa supranatural, atau tidak sedikit yang memandangnya dari sisi spiritual. Maka, ketika melihat Bung Karno melepas peci, muncul di benak Achadi, keinginannya “mencetak sejarah”, setidaknya sejarah bagi hidupnya.
“Bagaimana pun, saya harus bisa memegang peci Bung Karno,” kata hati Achadi. Sedangkan kata mulut Achadi adalah, “Bung, izinkan saya saja yang memegang pecinya. Dengan begitu, Bung Karno bisa duduk dengan nyaman tanpa harus memegangi terus peci itu.”
“Baiklah…,” berkata begitu, Bung Karno langsung memindahkan peci yang dipegangnya ke tangan Achadi yang sigap menyongsong.
Setelah memegang peci Bung Karno, Achadi justru banyak diam. Bung Karno sendiri diam. Tetapi, di dalam hati Achadi, terdengar gemuruh suka cita dan rasa girang bukan kepalang. Ia telah berhasil “membuat sejarah”…
“Sangat mungkin, sayalah satu-satunya menteri yang pernah memegang peci Bung Karno,” kata Achadi dengan sorot mata berbinar. Yang ini bukan kata hati, melainkan keluar dari mulut Achadi kepada saya.