Ada sejumlah buku biografi tentang Sukarno. Masyarakat lebih banyak mengenal biografi Sukarno yang ditulis Cindy Adams, “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Padahal, masih ada beberapa biografi lain, baik yang ditulis penulis Indonesia maupun asing. Sejauh ini, biografi dari penulis asing yang sudah saya baca adalah tulisan Cindy Adams, Lamlbert Giebels, Willem Oltmans, dan John D. Legge.
Di antara keempat buku tadi, tulisan John D. Legge-lah yang mencoba memposisikan diri sebagai penulis biografi objektif. Akibatnya, dalam buku yang berjudul “Sukarno, Biografi Politik” ia mengkritisi hampir semua fakta sejarah yang pernah ditulis oleh penulis biografi Sukarno lain. Misalnya, tentang ibunda Sukarno, Ida Ayu Nyoman Rai yang ia ragukan berasal dari kasta Brahmana. Ia juga mempertanyakan tulisan yang mengemukakan kemelaratan Sukarno di kala kecil. Dan masih banyak lagi yang ia kritisi, sekalipun ia sendiri mengakui, tidak satu pun data dan fakta otentik yang mendukung “kecurigaan”-nya. Sungguh, sikap objektif yang aneh….
Alhasil, buku Legge, sekalipun ditulis oleh seorang profesor dari Monash University, Melbourne – Australia, relatif kurang mendapat posisi di hati bangsa ini. Hal itu mungkin karena selain relatif tidak menampilkan data atau fakta baru, catatan-catatan tanpa fakta mengenai diri Sukarno yang tidak akurat membuat secara keseluruhan buku ini tidak lebih baik dari buku-buku biografi yang sudah ada.
Yang menarik lagi, catatan-catatan kecemerlangan Sukarno dalam peta politik Indonesia, sungguh menjadi sesuatu yang tidak mungkin dia pungkiri. Alhasil, ia mau tidak mau, harus mengungkapkan prestasi Sukarno dalam kancah politik menuju Indonesia merdeka. Pada bagian ini, tentu saja ia memiliki banyak referensi yang sahih sifatnya.
Salah satu yang menarik dikutip adalah julukan dia terhadap Bung Karno sebagai “Singa Mimbar”. Ia menulis peristiwa rapat umum yang digelar PNI Cabang Batavia. Di situlah tercatat Sukarno sebagai pucuk pimpinan PNI menguraikan panjang lebar tentang prinsip-prinsip PNI. Sejak itu pula, gema dan gaung nama Sukarno menyebar ke mana-mana, utamanya di lingkungan kaum pergerakan.
Bukan hanya itu. PNI juga menjelma menjadi organisasi yang naik daun. Sukarno menjadi tokoh bangsa yang diperhitungkan. Bahkan sejak itu, segala sesuatu sepertinya bergerak ke arah yang diinginkannya. Ke arah persatuan. Ke arah terciptanya satu kesadaran nasional, bahwa tujuan Indonesia merdeka (yang dimiliki oleh banyak tokoh pergerakan), tidak akan pernah tercapai jika diraih dengan jalan sendiri-sendiri.
Sukarno sendiri tidak pernah letih untuk mempersatukan elemen-elemen pergerakan. Puncaknya terjadi di bulan Desember 1927, ketika Sukarno berhasil mempersatukan front-front perjuangan ke dalam satu wadah yang dinamakan Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Di dalam PPPKI itulah berhimpun berbagai organisasi yang berbeda-beda.
Sejumlah organisasi yang menyatakan bergabung dalam PPPKI itu adalah PNI sendiri, Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Pasundan, Sumatranen Bond, Kaum Betawi, dan kelompok studi dr. Soetomo. PPPKI berkembang menjadi wadah penuh harapan. Mengingat latar belakang ideologi yang berbeda-beda, maka PPPKI tidak menuntut adanya persatuan ideologi, sehingga berbentuk semacam federasi. Semua yang berhimpun –dengan ideologi masing-masing– menyepakati gagasan berjuang untuk mencapai kemerdekaan politik bagi Indonesia.