Sukarno dituding kolaborator Jepang. Sukarno dituding “mengemis” kemerdekaan dari Jepang. Peristiwa 16 Agustus 1945 malam, kiranya bisa menggambarkan latar belakang itu semua. Melalui otobiografi yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno mengisahkan critical time malam itu, antara memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dukungan Laksamana Maeda, serta sikap menentang Kolonel Nishimura.
Laksamana Tadashi Maeda dipandang Sukarno sebagai seseorang yang berpandangan luas, idealis, dan taat beragama. Sebagai prajurit yang sudah pernah merantau ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia saat masih dijajah Belanda, ia tahu dan paham akan cita-cita Indonesia merdeka. Maeda bahkan menyediakan kediamannya sebagai tempat rapat para pejuang kemerdekaan, sekaligus menjamin keamanan dan dukungannya.
Sekarang, rumah Maeda kita kenal sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi, yang terletak di Jl. Imam Bonjol No. 1, Menteng, Jakarta Pusat. Lokasi yang tak jauh dari kediaman Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur 56. Malam 17 Agustus, rumah Maeda menjadi saksi penting bagi berdirinya Republik Indonesia.
Sikap Jepang sendiri sudah berubah. Mereka wajib menjaga status quo, tidak membiarkan tindakan politik apa pun, sampai Sekutu datang, dan Jepang menyerahkan kembali Hindia Belanda kepada yang (merasa) berhak. Maeda memiliki otoritas, sekalipun sikapnya, tidak bisa diartikan sebagai sikap pemerintah dan negara Jepang.
Merasa “kurang aman”, Sukarno pun segera meluncur ke Istana, mencari tahu pendirian pemerintahan Jepang, Gunseikan terhadap rencana kemerdekaan Indonesia. Bung Karno sekadar ingin tahu, kalaupun tidak mendukung secara terbuka, setidaknya Gunseikan bisa bersikap netral.
Di Istana, Bung Karno dijumpai Kolonel Nishimura, ajudan Gunseikan. “Dai Nippon tidak lagi mempunyai keuasaan di sini. Pada waktu sekarang, kedudukan kami hanyalah sebagai petugas polisi Tentara Sekutu. Kami sangat menyesal atas janji-janji kemerdekaan yang telah kami berikan, tetapi adalah suatu kenyataan, bahwa kami dilarang mengubah status quo. Tentara Dai Nippon tidak berdaya lagi membantu tuan.”
Bung Karno mencoba meyakinkan Nishimura, “Kolonel… lebih baik saya jelaskan, bahwa rencana kami hendak merebut kemerdekaan dengan kekerasan, kalau perlu. Tapi! Andaikata Gunseikan mau memalingkan mukanya dan membiarkan kami bertindak tanpa campur tangan aktif dari pihak tentara Dai Nippon, maka hasilnya akan menguntungkan kedua pihak. Tentara tuan sudah letih oleh peperangan dan tidak ada gunanya memulai lagi peperangan yang baru untuk mempertahankan sesuatu yang tidak berarti bagi mereka. Dan sebaliknya, kami tidak ingin diserahkan kepada Sekutu sebagai inventaris. Dengan pertimbangan yang masuk akal, kami bermaksud hendak meneruskan usaha sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Tenno Heika.”
Kalimat panjang lebar Bung Karno kepada Nishimura setidaknya mengandung dua pesan penting. Pertama, tahun sebelumnya saat ia diterima Tenno Heika (Kaisar Jepang), ia sudah mendapat isyarat restu untuk merdeka. Kaisar Jepang adalah kekuasaan tertinggi. Kedua, bangsa Indonesia, tetap akan meneruskan rencana memerdekakan diri dari penjajah, sekalipun harus berperang dengan tentara Jepang.
Toh, Nishimura jauh berbeda dengan Maeda. Dia bersikukuh, “Kami terikat kepada syarat-syarat penyerahan, yaitu menyerahkan kembali negeri ini kepada Sekutu dalam keadaanstatus quo. Gunseikan telah mengeluarkan perintah, yang melarang bangsa Indonesia mengganti pejabat-pejabat sipil atau mengadakan perubahan dalam bidang pemerintahan dalam bentuk apa pun. Dan selanjutnya, andaikata para pemuda memulai kekacauan, kami tidak dapat berbuat lain, selain menembak dan membunuh mereka!”
Ultimatum Nishimura sungguh membuat Bung Karno berada dalam tekanan yang sangat berat. Kondis fisik dan batin Bung Karno sangat-sangat-sangat letih. Ia baru saja “diculik” para pemuda besar nafsu, kecil nyali ke Rengasdengklok. Ia harus menghadapi gerombolan pergerakan bawah tanah yang tak sabar. Ia menghadapi gerakan kaum intelektual yang cenderung berkiblat ke Belanda. Ia juga disudutkan oleh ultimatum gerakan pemuda sayap kiri. Lebih dari itu semua, ia juga harus menghadapi kekuataan tentara Jepang yang sudah kalah perang dan berada di bawah tekanan Sekutu.
Dalam kondisi seperti itu, sebaik-baiknya sikap adalah tidak memperpanjang diskusi dengan Nishimura. Yang perlu ia sampaikan adalah sebuah isyarat: Berindak (merdeka) atau mati.
Bung Karno pun bergegas kembali ke rumah Maeda dan melanjutkan perumusan naskah proklamasi dalam suasana kebatinan yang campur aduk. Pulang ke rumah menjelang Imsak. Fatmawati menjahit dua helai kain warna merah dan putih, menjadi bendera pusaka. Riwu Ga, pembantu yang setia, sudah sibuk, sibuk ap saja. Bung Karno sendiri sempat makan sahur sebelum berangkat tidur lepas subuh.
Belum genap empat jam tidur ketika ia terbangun, dan menggigil sakit. “Pating greges,” kata Bung Karno kepada Dr. Soeharto, dokter pribadinya, yang segera menyuntikkan obat. Bung Karno kembali tidur, dan terbangun sekitar 09.30 dalam keadaan yang lebih bugar. Bersiap sejenak, jam 10.00 ia pun memproklamasikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
Bagaimana ancaman Jepang? Ternyata, tak satu pun tentara Jepang datang dan menembak mati Sukarno maupun para pemuda dan massa yang berkumpul di Pegangsaan Timur 56. Pembacaan teks proklamasi dalam gelombang suara serak Bung Karno, berlangsung aman, lancar, dan khidmad.