Kuliah teknik sipil di THS Bandung (sekarang ITB) adalah sisi kehidupan lain seorang Sukarno muda. Tokoh pergerakan, adalah peran lain yang dimainkannya. Nah, dalam mendayung sampan perjuangan di sungai berbatu cadas, terkadang ia meliuk ke kiri, meliuk ke kanan… terkadang ia menabrak pula bebatuan keras yang membuatnya limbung.
Di lingkungan kampus, Sukarno pun sempat aktif di organisasi kemahasiswaan, semacam studie club. Akan tetapi, manakala klub mahasiswa yang sebagian besar berisi mahasiswa bule itu lebih banyak menjalankan program pesiar dan plesiran, Bung Karno pun menyempal dan mendirikan kelompok studi lain. Langkah dia, segera diikuti mahasiswa-mahasiswa pribumi, pengikut setianya.
Bertahun-tahun setelah ia mendayung kedua peran sebagai mahasiswa dan tokoh pergerakan, tentu saja Sukarno mengalami banyak kejadian. Ia ditangkap polisi Belanda untuk pertama kali tahun 1922, pun dalam status sebagai seorang mahasiswa. Ia pernah digrebek di rumahnya bersama sejumlah akivis lain, juga masih dalam status sebagai mahasiswa.
Bahkan, ketika hantaman datang bertubi-tubi, mulai dari peristiwa penangkapan, disusul ditangkapnya guru sekaligus mertua, H.O.S. Cokroaminoto, dan banyak kejadian lain, sempat memunculkan awan pekat di ujung sungai sana. Ia nyaris berhenti mendayung. Ya… nyaris berhenti kuliah. Berhenti meneruskan cita-cita pergerakan menuju Indonesia merdeka.
Akan tetapi, ingatkah Anda? Seorang anak yang lahir di saat sang fajar menyingsing, takdirnya telah ditentukan. Ingatkah pula Anda? Sang ibunda, yang mengandung dan melahirkannya, Ida Ayu Nyoman Rai, mendekap tubuh kecil Sukarno di beranda depan, saat matahari mengintip di ufuk sana, seraya menujum masa depan putranya yang gilang-gemilang. Menerawang masa depan putra tersayang yang bakal menyandang takdirnya menjadi pembebas belenggu penjajah yang melilit bangsanya.
Awan pekat pun tersibak. Cokroaminoto bebas, Sukarno kembali ke bangku kuliah. Dan… aktivitas pergerakan kembali menjadi rutinitas hidupnya. Ia melanjutkan kuliah dengan gelora semangat baru. Mungkin saja karena ia baru saja melewati satu tanggung jawab besar sebagai kepala rumah tangga, atau mungkin juga karena ia kembali ke kota Bandung, ke rumah kos dengan Inggit Garnasih di dalamnya.
Kuliah berhasil diselesaikan. Nilai kelulusan? Ah… mana terjadi mahasiswa pribumi melampaui nilai-nilai mahasiswa bule. Pribumi harus di bawah bangsa bule. Sepintar apa pun dia. Sukarno tahu betul hal itu. Ia sudah terbiasa dengan hal-hal semacam itu sejak masa sekolah ELS di Mojokerto, HBS di Surabaya.
Bung Karno sendiri tidak terlalu memedulikan masalah itu. Ia lebih peduli politik. Ia lebih peduli menyusun kekuatan pergerakan melawan penjajah. Ia lebih peduli mewujudkan Indonesia yang merdeka. Indonesia yang tidak lagi membungkuk-bungkuk di hadapan bule. Indonesia yang tidak bisa begitu saja diludahi bangsa penindas.
Hanya orang dengan kepedulian seperti itu saja, yang rela hidup miskin, sekalipun tawaran menjadi pejabat dan pegawai di pemerintahan Hindia Belanda terbuka lebar, apalagi bagi seorang sarjana teknik, “tukang insinyur” cerdas seperti Sukarno. Ia lebih suka menerbitkan koran, memungut uang langganan, uang iklan, dan mendapatkan sedikit uang untuk dana perjuangan. Dengan media ia bisa berpropaganda. Dengan uang yang dihasilkan, ia bisa mendanai hidup dan perjuangannya.
Memang, Bung Karno sempat pula mencari nafkah dengan menjual keahliannya sebagai seorang insinyur. Ia mendirikan biro teknik, biro arsitek, tetapi tidak berhasil. Ada banyak faktor, tetapi yang pasti, ia gagal. Kemudian selepas dari penjara Sukamiskin, sekira tahun 1932, ia bergabung dengan Ir. Rooseno dan kembali mendirikan biro arsitek.
Biro arsitek yang didirikannya, lagi-lagi tidak sukses. Orang-orang lebih menyukai arsitek ala Tionghoa atau Belanda. Alhasil, tidak jarang untuk bayar sewa kantor yang 20 rupiah, telepon yang 7,5 rupiah, biro ini harus menombok. Bung Karno menomboki usaha yang merugi? Bukan. Rooseno-lah yang nombok. Sebab, Rooseno berpenghasilan lebih besar lagi sebagai pengajar. Kantong Rooseno jauh lebih tebal dibanding seluruh kantong Sukarno.
Sukarno? Ah… dia pura-pura tidak tahu hal itu. Yang pasti, tiap bulan ia datang ke kantor, menemui Rooseno, dan langsung bertanya, “Berapa kau berutang kepadaku?”
Rooseno hapal betul nada itu. Sebuah sikap “memahami” yang sangat dalam. Rooseno tahu, bahwa Sukarno tahu usahanya tidak jalan, atau katakan saja jalan merayap. Di sisi lain, Rooseno tahu juga, Sukarno sangat memerlukan uang untuk menafkahi keluarga dan ongkos perjuangan. Pemahaman seperti itulah yang membuat Rooseno menjawab pertanyaan Bung Karno dengan jawaban, “Bagian Bung 15 rupiah….”
Bayangkan! “Bagian” dari mana? Sedangkan untuk menutup sewa kantor dan bayar telepon saja tidak cukup. Jadi, laiknya dua sahabat dalam tingkat kesepahaman yang tinggi, maka Sukarno pun menjawab, “Baik. Terima kasih.” Tak ada pertanyaan lagi setelah itu.
Sejatinya, dalam hal perpaduan ilmu, Rooseno dan Sukarno memang klop. Dalam menjalankan roda usaha biro arsitek tadi, Rooseno yang banyak berperan sebagai insinyur-kalkulator. Mengerjakan soal-soal detail, membuat perhitungan dan kalkulasi, serta mengerjakan ilmu pasti yang sangat sukar itu.
Sukarno sendiri, sebagai seorang arsitek seniman, bertindak sebagai pengatur bentuk-bentuk yang unik dari rancang bangun sebuah gedung atau rumah. Akan tetapi… tentu saja tidak banyak yang diatur, karena biro arsitek mereka memang sepi order. Tetapi dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno cukup membanggakan karyanya sebagai “tukang insinyur”. “Ada beberapa buah rumah yang kurencanakan sendiri, dan sekarang masih berdiri di Bandung. Rencanaku boleh jugalah. (Meski) tidak begitu ekonomis, tetapi indah….”