Apa saja yang diperbuat Sukarno kecil, teman-temannya akan mengikuti. Apa saja yang diceritakan Sukarno kecil, teman-teman akan patuh mendengarkannya. Oleh teman-temannya, Sukarno bahkan dijuluki “jago”, karena pembawaannya yang jagoan, meski untuk ulahnya, tak jarang ia kena tampar anak-anak Belanda. Karena gayanya yang begitu “pe de” itu pula yang mengakibatkan ia sering berkelahi dengan bule-bule Belanda.
Itu sekelumit kisah masa kecil Sukarno yang dihabiskannya di Mojokerto, sebuah kota kecil yang berjarak 55 kilometer selatan Surabaya. Di kota ini pula, Sukarno disekolahkan di Europesche Lageere School (ELS), Sekolah Dasar Eropa.
Hanya lulusan ELS yang bisa melanjutkan ke sekolah menengah Belanda (Hoogere Burger School/HBS = Sekolah Lanjutan Tinggi). Sebelum masuk ELS, Sukarno sekolah di Hollands Inlandsche School (HIS). Lulusan HIS setara dengan kelas 4 ELS. Akan tetapi, karena Sukarno lemah bahasa Belandanya, maka ketika ujian masuk ELS ia diturunkan ke kelas 3.
Usia Sukarno 10 tahun ketika masuk ELS. Tahun Masehi menunjuk angka 1911. Tujuh tahun lamanya ia menyelesaikan pendidikan di ELS hingga lulus kelas tujuh pada tahun 1916. Itulah tahun-tahun Sukarno berusia belasan tahun, usia ABG, usia pancaroba dengan segala kenakalannya.
Saat menuturkan kisahnya kepada Cindy Adams, ada satu karakter yang tidak berubah selama enam dasawarsa kehidupannya. Salah satunya adalah karakter pemuja seni. Ekspresinya disalurkan dengan cara mengumpulkan bungkus-bungkus rokok Westminster keluaran Inggris yang bergambar bintang-bintang terkenal. Ia menempelkan bungkus-bungkus rokok yang sudah terbuang tadi di dinding. “Aku menjaga kumpulan bungkus rokok itu dengan nyawaku. Itu adalah harta milikku sendiri yang pertama,” begitu Bung Karno melukiskan peristiwa saat ia berusia belasan tahun.
Usia 12 tahun, Sukarno sudah punya pasukan pengikut yang setia. Sukarno-lah pemimpin pasukan itu. Kalau Sukarno bermain jangkrik di tengah lapangan yang berdebu, segera pasukannya mengikuti. Kalau Karno diketahui mengumpulkan prangko, mereka juga mengumpulkannya.
Pada suatu hari, seorang temannya memberi sebuah sumpitan. Sebuah mainan anak-anak berupa ujung bambu yang berlubang kecil. Cara bermain, masukkan sebutir kacang, kemudian tiup kencang-kencang ke arah sasaran. Dan, Sukarno pun jadi jagoan main sumpitan.
Kalau “gang” pribumi kecil ini bermain panjat pohon, maka Sukarno akan memanjat ke dahan paling tinggi. Itu artinya, ketika jatuh Sukarno pun jatuh paling keras daripada anak-anak yang lain. Dalam segala hal, Sukarno selalu menjadi yang pertama mencoba. “Nasibku adalah untuk menaklukkan, bukan untuk ditaklukkan, sekalipun pada waktu kecilku,” tutur Sukarno berpuluh-puluh tahun kemudian.
Termasuk dalam permainan adu gasing. Tersebutlah sebuah gasing milik temannya yang berputar lebih cepat daripada gasing milik Sukarno. “Kupecahkan situasi itu dengan berpikir cepat alaSukarno: Kulemparkan gasing itu ke dalam kali.”