Rabu, 11 Agustus 2010

Hati-Hati! Nonton Video Porno Potensi Alami Gangguan Jiwa


Berita tentang video panas mirip artis ramai dibicarakan beberapa hari ini. Kalangan masyarakat banyak yang menyayangkan mengapa video panas adegan hubungan seks antara dua insan yang “belum tentu” sudah terikat dalam perkawinan ini beredar.
Dunia internet di Indonesia yang nyaris tanpa saringan membuat segalanya dengan mudah tersebar. Video panas tersebut bisa dilihat dengan hanya mendownloadnya di situs-situs yang menyediakannya secara gratis atau dengan menontonnya di situs youtube.com walaupun pada akhirnya ditutup.
Banyak pendapat ahli kemudian bermunculan, dari ahli agama sampai ahli pendidikan dan perkembangan anak. Semuanya menyesalkan terjadinya kejadian ini. Sesuatu yang bukan konsumsi publik menjadi terbuka segamblangnya di media internet yang saat ini sudah merambah ke desa-desa. Belum lagi kekhawatiran sebagian orang tua tentang anaknya  yang juga bisa menikmati tontonan tak layak usia anak ini. Semua karena akses internet saat ini begitu mudah.
Berikut penjelasan dr.Andri,SpKJ. Sebagai seorang psikiater saya lebih menyoroti tentang beberapa istilah yang dipakai di ruang publilk oleh para ahli. Ada istilah yang kemudian muncul yaitu Scopophilia. Istilah ini sebenarnya jarang digunakan di dalam ranah ilmu kedokteran jiwa. Di dalam manual diagnostik gangguan jiwa terbitan The American Psychiatric Association istilah Voyeurism adalah istilah yang sama dengan Scopophilia.
Voyeurisme/Scopophilia, Apakah Kita Termasuk Di Dalamnya?
Dalam buku teks Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition (2007) disebutkan bahwa Voyeurism atau juga dikenal Scopophilia adalah seseorang yang mempunyai preokupasi (kecenderungan sikap) yang terus menerus secara fantasi maupun tindakan untuk mengamati (observing) orang-orang yang telanjang atau sedang melakukan aktifitas seks. Dalam konteks ini terlihat bahwa ada proses mengamati dan bukan ikut aktif di dalam kegiatan seks tersebut.

Dahulu semasa kuliah saya ingat betul ada seorang dosen mengatakan bahwa Voyuerism berasal dari kata Perancis, Voyeur,  yang mana istilah ini merujuk pada suatu kegiatan “mengintip”, “memata-matai (spying)” suatu kegiatan seksual, membuka baju atau senang mengamati orang telanjang. Jadi hal ini dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan dari objek yang dilihatnya. Kondisi ini biasanya didiagnosis setelah berlangsung sekurangnya 6 bulan.
Tentang apa yang dilakukan oleh pelaku dalam video panas mirip artis ini sampai saat ini saya belum dapat menemukan kriteria diagnosis yang pas. Namun yang saya amati adalah bahwa tanpa disadari, kita sendiri menjadi penasaran dan terus mencari video panas ini, tujuannya untuk melihat apakah benar apa yang diberitakan media. Tanpa disadari kita juga mulai melakukan kegiatan yang sekiranya mirip dengan diagnosis gangguan jiwa voyeurism, mengamati orang lain bersenggama dan bahkan (mungkin) asyik menikmatinya.
Kita tanpa sadar menuduh orang lain dengan segala macam bentuk gangguan kejiwaan tanpa sadar bahwa kita sendiri melakukan perbuatan yang mengarah ke suatu diagnosis gangguan kejiwaan. Semoga kondisi ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.
Senada dengan dr.Andri,SpKJ ,ahli psikologi anak dan pendidikan Universitas Indonesia Lydia Freyani Hawadi mengatakan orang bisa kecanduan pornografi yang merupakan penyakit psikologi mengkhawatirkan obsesif kompulsif.
Penyakit ini merupakan keadaan di mana seseorang akan memikirkan sesuatu secara terus menerus, dan kemudian memiliki keinginan yang tinggi untuk melakukan hal tersebut. Akibat akhirnya adalah perasaan kecanduan.
“Obsesif kompulsif sangat berbahaya bagi remaja, karena keingintahuan remaja yang begitu tinggi. Apalagi jika didukung tokoh yang disukai, mendorong mereka untuk mengkonsumsi video tersebut terus-menerus dan ditakutkan jika hingga tahap mencoba,” kata psikolog anak ini saat dihubungi di Jakarta.
Yang ditakutkan dari obsesif kompulsif ini adalah ketidakmampuan seseorang mengendalikan diri sendiri menyangkut hal tertentu. Misalnya saja dalam mengkonsumsi video dewasa. Penderitanya juga harus dibawa ke psikiater untuk proses penyembuhan.
Psikiater dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Dadang Hawari mengatakan kecanduan pornografi tidak hanya berlaku pada anak-anak. Orang dewasa pun juga bisa terkena.
Namun memori anak dapat cepat menyerap hal-hal baru yang ditemuinya, ibarat handphone yang dapat merekam atau memfoto. Namun bedanya memori anak tidak bisa dihapus begitu saja, seperti menghapus memori di ponsel.
“Sebenarnya untuk masalah kecanduan porno, bisa diatasi dengan obat-obatan, namun masih jarang orang tahu akan hal ini, sehingga jarang orang menggunakan cara ini,” kata Dadang.
Ia menambahkan orang yang sering melihat pornografi akan memiliki kecenderungan yang melebihi batas. Banyak anak-anak yang sudah terkena penyakit kelamin di usia masih sangat muda. Selain itu juga mendorong anak untuk melakukan hal-hal seperti yang mereka lihat, dengan melakukan pemerkosaan dan seks bebas.
“Contohnya dapat kita lihat dari anak jalanan yang sering jadi korban pemerkosaan anak jalanan lainnya. Hal itulah yang menyebabkan mengapa banyak di antara mereka yang sudah terkena penyakit kelamin di usia muda,” katanya.
Lydia Freyani Hawadi menjelaskan pada diri anak berlaku hukum dampak atau law of effect. Menurut teori itu tingkah laku seseorang diperkuat oleh lingkungan berdasarkan tanggapan pihak luar dalam bentuk reward dan punishment.
Jika anak tidak dikenakan punishment atau hukuman saat menonton video porno dan menegaskan hal tersebut salah, maka akan terbentuk pola pikir bahwa tindakan tersebut merupakan sebuah hal yang lumrah.
Begitu pula jika anak dibiarkan untuk menonton video dewasa, maka mereka akan menganggap sebagai reward. “Kalau mereka dibiarkan sama orangtua, apalagi jika ternyata orangtua juga sering membicarakan itu atau malah menyimpan video tersebut, bagi anak ini adalah semacam reward yang akan mereka biasakan hingga dewasa,” kata Lydia.
Lydia menilai saat ini adalah masa suram. Teknologi sangat mudah diakses. Berdasarkan data internasional, 85% remaja yang kecanduan seks telah mengkonsumsi media berbau pornografi sejak usia di bawah 14 tahun. “Mereka mendapatkan efek dari luar, kemudian muncul rasa pengen, penasaran, kemudian coba-coba,” tambahnya.






















Baca Juga Yang Lainnya Tentang :

Kata Mereka