Ketika Bung Karno meringkuk di Sukamiskin, ia mendengar partai yang didirikannya, PNI (Partai Nasional Indonesia) dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Demi melukiskan kesedihan hatinya mendengar “anak” yang dilahirkan dan dibesarkannya berantakan, Bung Karno dalam penuturan kepada Cindy Adams mengakui, itulah kali pertama ia menangis sejadi-jadinya.
Alhasil, ketika pada tanggal 31 Desember 1931 Bung Karno dinyatakan bebas menghirup udara lepas, hal pertama yang ia lakukan adalah mengkonsolidasikan para pengikutnya. Saat itu, partainya telah pecah. Hatta dan Sutan Sjahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia, yang singkatannya PNI juga. Sedangkan pengikut Bung Karno yang lain mendirikan Partai Indonesia yang disingkat Partindo.
Para pengurus Partindo menarik-narik Bung Karno masuk Partindo, tetapi Bung Karno menolak sebelum berbicara dengan Hatta. Syahdan, kedua tokoh pergerakan yang di kemudian hari kita kenal sebagai dwitunggal itu pun bertemu. Dalam pertemuan itulah terjadi perdebatan sengit, menyoal cara-cara berjuang mencapai kemerdekaan. Hatta menghendaki pendidikan kader, dan menilai cara-cara yang dilakukan Bung Karno membuat partai tidak bisa stabil. Bung Karno ngotot dengan pendapatnya, bahwa untuk merdeka, rakyat harus disatukan melalui pergerakan.
Saat itulah meluncur statemen Bung Karno tentang pergerakan, yang kemudian mengilhami kuam-kaum pergerakan selanjutnya, bahkan hingga hari ini. Katanya, “Politik adalah machtsoormingdan machtsannwending, pembentukan kekuasan dan pemakaian kekuatan. Dengan tenaga yang terhimpun kita dapat mendesak musuh ke pojok dan kalau perlu menyerangnya.”
Bung Karno menuding, cara-cara pendidikan kader, cara-cara revolusi yang dilandaskan pada teori buku, adalah sebuah landasan revolusioner yang khayal. Bahkan dalam perdebatan sengit tadi Bung Karno sempat mengecam pendirian Bung Hatta dengan mengatakan, “Mendidik rakyat supaya cerdas akan memerlukan waktu bertahun-tahun Bung Hatta… Jalan yang Bung tempuh baru akan tercapai kalau hari sudah kiamat!”
Singkat kata, kedua tokoh pergerakan tadi tidak mencapai kata sepakat dalam hal merumuskan cara perjuangan menuju cita-cita yang sesungguhnya sama: Indonesia merdeka. Bung Hatta lebihsoft, sedangkan Bung Karno memilih cara keras. Akhirnya benar, keduanya menempuh jalan masing-masing, dan Bung Karno masuk Partindo pada tanggal 28 Juli 1932. Tak lama kemudian, ia sudah menjadi pemimpin partai itu, dan pergerakan hidup kembali.
Begitulah sosok dwitunggal yang memang berbeda, tetapi sejatinya saling melengkapi. Karena kemudian sejarah mencatat, bahwa Hatta dan Sjahrir-lah yang dapat merangkul kalangan intelektual. Sementara, Bung Karno mengakar di hati rakyat Marhaen yang paling dalam.
Suatu ketika, untuk menggambarkan dua kepribadian dwitunggal itu, Bung Karno pernah menceritakan peristiwa tahun 20-an. Pada suatu waktu, Bung Karno dan Bung Hatta melakukan perjalanan ke suatu tempat, dan satu-satunya penumpang yang lain adalah seorang gadis yang cantik. Di suatu tempat yang sepi dan terasing, ban pecah.
Bung Karno dan pengemudi mencari pertolongan, sementara Hatta dibiarkan di dalam mobil bersama gadis cantik tadi. Apa yang terjadi? Dua jam kemudian ketika pertolongan itu datang, si gadis cantik tampak tengah tertidur di sudut mobil, sedangkan Hatta mendengkur di sudut yang lain.