Tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno belum menjadi Presiden Republik Indonesia. Ia, sebut saja, sebagai proklamator, karena memang Bung Karno yang membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Meski begitu, di hari pertama merdeka, hampir saja terjadi insiden berdarah di kediaman Bung Karno, Jl. Pegangsaan Timur 56, Menteng, tempat dilangsungkannya proklamasi dan pengibaran bendera pusaka merah putih.
Matahari mulai condong ke Barat. Bung Karno masih sempat memandangi kibar bendera merah putih yang dikerek naik tadi pagi. Hatinya membatin, “Alhamdulillah, bendera Republik sudah berkibar sekarang.” Tekadnya menggumpal, “Kalaupun ia turun lagi, maka ia hanya akan turun melalui tujuh puluh dua juta mayat dari bangsaku yang bergelimpangan. Kami takkan melupakan semboyan revolusi: Sekali Merdeka Tetap Merdeka!”
Belum lama Bung Karno rebahan dalam kamar, karena kondisi fisiknya yang sakit, Sudiro, sekretaris pribadi Bung Karno mengetuk pintu dan langsung masuk. Ia mengabarkan bahwa lima orang opsir Kenpetai memaksa masuk rumah. “Mereka mau bicara dengan Bung Karno. Anak-anak tinggal menunggu perintah, apa yang akan kita lakukan terhadap tentara Jepang itu.”
Benar. Situasi memang berubah. Jika sebelumnya penguasa Jepang tampak “mendukung” kemerdekaan kita, setelah kalah perang dari Sekutu, ia harus mengikuti perintah Sekutu untuk mempertahankan “status quo” di Indonesia, sampai saatnya Sekutu mendarat kembali di Nusantara, dan mengembalikan Hindia Belanda kepada Negeri Belanda.
Sukarno paham situasi itu. Ia pun dengan tenang keluar kamar dan menemui para tentara Jepang. Belum lagi Bung Karno mempersilakan para opsir Jepang itu duduk, ia sudah kena semprot, “Apa yang tuan lakukan, Sukarno San?”
“Memproklamasikan kemerekaan kami,” jawab Bung Karno kalem.
“Tuan tidak boleh melakukannya,” opsir Kenpetai itu memotong dan menyerang. “Perintah dari Sekutu kepada kami supaya kami meneruskan roda pemerintahan sampai mereka datang. Kami diperintahkan untuk menyampaikan larangan keras bagi pernyataan kemerdekaan Indonesia.”
Bung Karno, dalam keadaan sakit, mulai hilang kesabaran. Maka, nada suaranya pun meninggi, “Tapi pernyataan (kemerdekaan) itu sudah diucapkan. Saya yang mengucapkannya.”
Opsir Jepang, merasa masih berkuasa atas tanah Indonesia, selangkah maju mendekat sambil berkacak pinggang. Ia menyulut konfrontasi dengan Bung Karno. Empat opsir lainnya pun menampakkan sikap siaga, seperti hendak mengancam keselamatan Bung Karno.
Demi melihat reaksi lima orang opsir Jepang yang menampakkan gelagat main kasar, Bung Karno tetap tenang. Akan tetapi, ia melayangkan pandangannya ke arah kiri, kanan, dan belakang lima orang opsir Jepang itu. Di sana, ratusan pemuda berwajah garang, bersenjata kampak, clurit dan bambu runcing. Semua mata mewaspadai dengan seksama setiap gerak-gerik opsir Jepang.
Para opsir Jepang yang memelototkan bola mata ke arah Bung Karno, refleks mengikuti sapuan pandangan Bung Karno ke arah belakang, ke kiri dan ke kanan, ke arah ratusan pemuda yang siap menerkam lima opsir Jepang tadi. Terbayanglah tentunya, tusukan bambu runcing bisa langsung memburaikan usus seseorang. Kematian yang ditimbulkan oleh bambu runcing berlangsung lambat sekali dan sangat menyiksa.
Sadar kalah jumlah, para opsir Jepang berubah ekspresi, dari ganas menjadi lemas, dari sangat menjadi hambar. Sejenak mereka saling adu pandang. Sejurus kemudian mereka balik kanan, meninggalkan Bung Karno tanpa kata-kata. Sejarah kemudian mencatat, usai para opsir Jepang itu ngeloyor pergi, Bung Karno di harapan ratusan pemuda mengeluarkan seruan untuk membentuk “Pasukan Berani Mati”.
Tugas mereka yang utama adalah mempertahankan sang merah putih tetap berkibar di angkasa raya. Tidak lama setelah seruan itu dikumandangkan, sambung menyambung dari satu mulut ke telinga yang lain, dalam waktu tidak terlalu lama, Jl. Pegangsaan Timur 56 telah penuh dengan sukarelawan berani mati. Tidak hanya pemuda atau laki-laki, bahkan seorang perempuan yang menggendong anak pun, tampak dalam barisan yang mendaftar masuk “Pasukan Berani Mati”.