Anda pernah mendengar kata exploitation de l’homme par l’homme? Bung Karno sangat sering mengutip kalimat itu dalam pidato-pidatonya. Itulah kalimat yang ditentang selama perjuangannya, eksploitasi, penindasan, penghisapan manusia oleh manusia yang lain. Kemudian ketika negara Indonesia sudah merdeka, kalimat tadi ditambah dengan, exploitation de nation par nation, penindasan sebuah bangsa oleh bangsa yang lain.
Kalimat-kalimat pembakar jiwa merdeka itulah yang ditanamkan dalam-dalam di sanubari rakyat. Akhirnya, semangat itu pula yang tumbuh dan berbentuk di dekade 20-an. Para pekerja sudah berorganisasi, mereka berani menuntut hak; menuntut undang-undang perburuhan, menuntut upah yang layak… dan selalu membentang poster “TOLAK exploitation de l’homme par l’homme” dalam aksinya.
Klimaks aksi buruh terjadi akhir tahun 1921 di Garut, Jawa Barat. Aksi mogok besar-besaran telah merepotkan pemerintahan kolonialis Belanda. Nah, dalam kasus itu, Belanda menuduh Sarekat Islam-lah dalangnya. Maka, pada hari itu juga Belanda menangkap H.O.S. Cokroaminoto dan menjebloskannyake balik jerajak besi.
Demi mengetahui peristiwa itu, perasaan dan pikiran Bung Karno berkecamuk. Masih ingat cerita Utari, istri pertama Bung Karno yang anak Cokroaminoto? Benar! Bung Karno adalah anak menantu Cokroaminoto. Di sisi lain, Ibu Cokroaminoto sudah meninggal. Adik-adik Utari, Anwar dan Harsono masih kecil-kecil. Karena itu pula, tanpa berpikir panjang, ia pamit kepada Inggit Garnasih, ibu kostnya. Ia juga pamit kepada Profesor Klopper, Presiden Sekolah Teknik Tinggi, tempatnya kuliah. Ia pamit pulang ke Surabaya, mengambil-alih tugas kepala keluarga yang tidak bisa dijalankan Cokroaminoto karena ia meringkuk di penjara.
Tuduhan serius kepada Cokro, bisa berakibat hukuman penjara selama enam tahun. Itu artinya, Sukarno sudah benar-benar siap meninggalkan gelanggang pergerakan, demi anak-anak Cokro. Ia rela meninggalkan kuliah, rela meninggalkan dunia pergerakan, bahkan rela mengubur cita-cita memimpin pergerakan menuju Indonesia merdeka.
Hal pertama yang ia lakukan setiba di Surabaya adalah mencari pekerjaan. Tidak terlalu sulit untuk seorang pemuda dengan tingkat pendidikan seperti Sukarno, sekalipun ia seorang pribumi, inlander kotor di mata Belanda. Bung Karno berlabuh di jawatan kereta api, bekerja sebagai klerk, atau tenaga kasar. Kedudukannya sebagai Raden Sukarno, EKL atau Der Eerste Klasse. Sebagai seorang klerk stasiun kereta api kelas satu, Bung Karno menelan uap dan asap selama tujuh jam sehari. Sebab, kantornya tidak ada ventilasi untuk masuk udara bersih, dan langsung berhadapan dengan rel dan pelataran stasiun.
Atas pekerjaannya, ia menerima upah setara 165 rupiah. Dari jumlah itu, sekitar 124 rupiah diserahkan kepada keluarga Cokro, sisanya yang 40 rupiah dikantonginya sendiri, untuk sekali-kali mengajak keluarga Cokro sekadar nonton bioskop. Kerja keras sehari-hari, mengurus keluarga Cokro di sisi yang lain, membuat Sukarno sama sekali tidak punya waktu untuk belajar bagi dirinya sendiri. Terlebih, Belanda memutuskan, anak-anak orang orangtuanya menjadi tahanan, dilarang masuk sekolah. Karenanya, Sukarno juga mengajari Anwar dan Harsono di rumah, agar tidak ketinggalan pelajaran.
Syahdan, Cokroaminoto dibebaskan bulan April 1922, setelah tujuh bulan meringkuk dalam tahanan. Bung Karno senang bukan kepalang, bersyukur tiada henti. Tiga bulan kemudian, di bulan Juli 1922, ketika tahun pelajaran baru segera dimulai, Bung Karno kembali ke Bandung, ke Sekolah Teknik Tinggi, dan… kembali kepada Nyonya Inggit.