Ingat Harun Al-Rasyid, ingat dongeng 1001 malam. Khafilah yang terkenal merakyat, dan gemar menyamar untuk membaur dengan rakyatnya. Legenda Harun Al-Rasyid rupanya lekat pula di benak Bung Karno. Makanya, dalam hal-hal tertentu, Sukarno pun gemar menyamar menjadi rakyat jelata, dan keliling masuk-keluar pasar, masuk-keluar kerumunan manusia, hanya sekadar ingin dekat dengan rakyatnya.
Lain dengan Harun Al-Rasyid yang memang keturunan khafilah, keturunan raja. Sedangkan Bung Karno? Sekalipun mengalir darah biru dari Sultan Kediri, tetapi ia bukanlah berasal dari keluarga berada. Ia bahkan melukiskan kehidupan masa kecil hingga remaja sebagai sangat miskin. Makan nasi sehari sekali adalah sebuah kemewahan baginya.
Jika kemudian Bung Karno merasa begitu dekat dengan rakyat, itu karena ia merasa lahir dari rahim rakyat jelata. Sepanjang perjuangan pergerakan kemerdekaan, ia selalu dikelilingi rakyat, didukung rakyat, diikuti rakyat ke mana pun telunjuknya mengarah.
Karenanya, sekalipun ia telah menyandang predikat Presiden, kebiasaan untuk berada di tengah-tengah rakyat jelata tak pernah bisa sirna. Bahkan dalam “curhat”-nya kepada penulis biografinya, Cindy Adams, ia mengatakan, sering merasa lemas, napas seakan berhenti apabila tidak bisa keluar Istana dan bersatu dengan rakyat-jelata yang melahirkannya.
Karena itu pula, ia tak jarang keluar Istana seorang diri, ada kalanya dikawal seorang ajudan berpakaian preman. Bagaimana ia menyamar? Menurut Bung Karno, tidak terlalu sulit. Sebab, rakyat kebanyakan sangat lekat dengan penampilan Bung Karno khas dengan baju seragam dan pici hitam. Maka, ketika Bung Karno berganti pakaian, memakai sandal, pantalon, atau hanya berkemeja, lalu mengenakan kacamata berbingkai tanduk, rupa Bung Karno sudah beda sama sekali.
Dengan cara itu, Bung Karno bisa leluasa masuk-keluar pasar tanpa dikenali orang. Ia merasa kepunyaan rakyat, karenanya menjadi lebih nyaman bila berada di tengah rakyat. Perasaan Bung Karno langsung tenteram jika mendengar percakapan riuh orang-orang. Bung Karno menyimak rakyat bergunjing, rakyat bergosip, rakyat berdebat, rakyat berkelakar, rakyat bercumbu-kasih. Pada saat itulah Bung Karno merasakan sebuah kekuatan merasuk, mengaliri seluruh pembuluh darah.
Dari satu tempat ke tempat lain, sesekali bahkan Bung Karno berhenti di pinggir jalan, memesan sate ayam yang disajikan menggunakan pincuk dan pisang, dan memakannya sambil duduk di trotoar. Saat-saat seperti itulah Bung Karno merasakan kesenangan luar biasa.
Akan tetapi, ada kalanya, penyamaran ala Harun Al-Rasyid berantakan kalau Bung Karno kelupaan. Lupa untuk tidak berbicara. Lupa untuk tidak mengeluarkan suara. Seperti yang terjadi di kawasan Senen, Jakarta Pusat, di dekat lokasi pembangunan gudang stasiun. Waktu itu, spontan saja ia bertanya kepada tukang bangunan, “Dari mana diambil batubata dan bahan konstruksi yang sudah dipancangkan ini?” Maklumlah, Sukarno adalah seorang “tukang insinyur” sipil.
Apa yang terjadi setelah Bung Karno bersuara? Belum sempat tukang bangunan menjawab pertanyaan Bung Karno, terdengar seorang perempuan berteriak kencang sekali, “Itu suara Bapak… Ya… suara Bapak!!!… Hee… orang-orang, ini Bapak…. Bapak….!!!!”
Dalam sekejap ratusan, kemudian ribuan orang menyemut mengerubungi Bung Karno. Mereka berebut mendesak, menyalami, memegang…. suasana pun menjadi gaduh. Ajudan segera mengamankan Bung Karno, menyibak kerubungan massa, memasukkannya ke dalam mobil, dan menghilang.