Kamis, 22 Juli 2010

Perjodohan ala Islam




Pacaran sudah menjadi hal yang biasa dilakukan anak muda zaman sekarang. Bahkan sudah umum bila sebelum menikah mereka sudah gonta-ganti pacar. Namun sebagian kalangan, terutama muslim, banyak yang menolak pacaran. Mereka langsung melakukan pernikahan tanpa melalui fase pacaran.

Pacaran biasanya diklaim merupakan sarana untuk mengenal lebih dekat masing-masing pasangan. Umumnya, karakter yang ingin diketahui itu terdiri dari bibit, bebet, dan bobot dari calon pasangan.

Namun biasanya, dalam tahap pacaran ini, sering terjadi penyimpangan. Tidak sedikit mereka yang pacaran kemudian terjerumus dalam perbuatan yang dilarang oleh agama seperti zina.

Ustadah Hartati Anas menyatakan, Islam tidak mengenal pacaran. Dalam Islam, hubungan nonmuhrim juga diatur, yaitu adanya larangan berkhalwat (berdua-duaan) dengan lawan jenis. Firman Allah SWT dalam surat Al Isra ayat 32 yang menyebutkan, janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.

Islam menyerukan agar menyegerakan pernikahan bagi yang sudah mampu. Dalam hadist Bukhari dan muslim, Nabi Muhammad bersabda, Wahai para pemuda. Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.

Dengan berpedoman pada Surat Al Isra dan hadis tersebut, maka banyak kalangan muslim yang menolak pacaran. Mereka hanya melakukan taaruf alias perkenalan sebelum menikah. Pacaran, dilakukan setelah kedua pasangan menikah.

Hal seperti ini misalnya dilakukan oleh Ketua MPR Hidayat Nurwahid. Ia hanya bertaaruf dengan bertemu 3 kali dengan calon istri. Bagi Ketua MPR RI ini, waktu tiga minggu sudahlah cukup untuk mengenal calon istrinya, Diana Abbas Thalib. Selanjutnya melangkah ke jenjang pernikahan.” Keinginan saya untuk menikah lagi dilandaskan kepada agama, jadi tidak perlu neko-neko dan lama untuk prosesnya ” kata Hidayat kepada detikcom.

Dalam masa penjajakan, Hidayat dan Diana hanya melakukan ta’aruf, kemudian bertemu dengan didampingi beberapa teman selama 3 kali dan kemudian memutuskan khitbah (lamaran). Rencananya 10 Mei mendatang keduanya akan melangsungkan pernikahan.

Hidayat juga mengaku akan menjalani proses pacaran setelah perkawinan dilangsungkan atau setelah resmi menjadi suami istri. “Pacaran sudah tidak perlu lagi untuk seusia saya, seandainya perlu akan saya lakukan setelah kami menikah ” Tegas Hidayat.

Pasangan Andri dan Rina, warga Tangerang juga melakukan hal yang sama dengan Hidayat, menikah setelah taaruf tanpa melewati masa pacaran. Andri yang melakukan pernikahan ala Islam itu mengaku bahagia.

“Jika pernikahan ini diibaratkan seperti membeli buku, buku yang saya beli sangat terjamin baik dari isi maupun covernya karena belum terbuka segelnya dan belum tersentuh oleh pedagangnya,” kata Andri.

Andri yang menikah pada akhir 2007 ini mengaku tanpa pacaran terlebih dulu, justru ia kerap dihampiri rasa rindu dan kangen jika tidak bertemu sang istri.

Perkawinan adalah sebuah ikatan sakral. Ikatan itu diadakan bukan sekadar urusan pribadi dua manusia berlainan jenis. Namun ada makna sosial yang terkandung di dalamnya.

Dalam agama Islam sebuah perkawinan punya tujuan, selain untuk memperoleh keturunan, perkawinan juga dimaksudkan untuk menghindari perbuatan keji dan terlarang, zina misalnya. Islam juga memandang perkawinan juga bisa melindungi masyarakat dari kekacauan.

Ustadah Hartati Anas mengatakan, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami- istri dapat melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.

Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu Kafa’ah dan Shalihah.

“Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.” imbuh Ustazah Hartati Anas kepada detikcom.

Hartati kemudian menjelaskan pengertian kafa’ah sesuai dengan surat Al Hujurat ayat 13 yang berbunyi, Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya.

Jadi kata Hartati, kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara suami-istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami, insya Allah akan terwujud.

Sedangkan Sholehah dalam pernikahan menurut islam, imbuhnya, adalah orang yang mau menikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih pria yang sholeh. 






Selamat mencoba , semoga bermanfaat dan berguna untuk anda..copy paste di bolehkan, asal tidak menjelek2kan artikel ini yang telah dibuat.Terima kasih telah berkunjung di Ihsan_blogs .. created by IHSAN.











internet marketing

Click here to get Kaya Dari Facebook Marketing | Profit Bisnis dan Keamanan Pribadi











Baca Juga Yang Lainnya Tentang :

Kata Mereka