Hidup dan kehidupan Bung Karno, laiknya sebuah sketsa tanpa judul. Sang pelukis adalah Yang Maha Agung, Tuhan Yang Esa. Tiada ada perubahan nasib suatu bangsa, tanpa bangsa itu memperjuangkannya. Ratusan tahun lamanya bangsa kita dihisap drakula penjajah, hingga muncullah percik-percik pergolakan.
Politik memecah belah, telah mencerai-beraikan suku-suku bangsa di Nusantara yang pernah disatukan Mahapatih Gajah Mada. Begitulah, sehingga bangsa yang besar ini akhirnya tenggelam sebagai bangsa kerdil, yang tidak lebih mulia daripada seekor anjing di mata penjajah. Sebuah bangsa yang selalu menengadahkan tangan meminta belas kasih. Sebuah bangsa yang harus menengadahkan wajah jika tuan penjajah hendak meludah.
Percik-percik api perjuangan, tersulut melalui satu-dua anak bangsa yang melek huruf. Gurat-gurat tipis pemberontakan, tercermin dari menjamurnya perkumpulan, serikat dagang, dan berbagai macam wadah kebangsaan. Klimaks dari itu semua adalah perkumpulan akbar Boedi Oetomo pada tahun 1908. Inilah tonggak bangkitnya rasa kebangsaan.
Di mana Sukarno? Ia baru berusia tujuh tahun kala itu. Dari teropong perjuangan kebangsaan, lahirnya jabang bayi Sukarno hanya sebuah noktah yang samar. Yang pasti, “si noktah samar” itu di kemudian hari tampil menjadi tokoh pergerakan. Ia berjuang dan terus bergerak maju, menabrak dan melawan apa saja yang menjadi rintangannya.
Ditangkap, ditodong senapan berbayonet, diseret, diinterograsi, dijebloskan penjara, dibuang dari satu daerah terpencil ke daerah terpencil lain, adalah satu sketsa lain dari lukisan Tuhan. Tinggal kematian saja yang belum menjemput.
Syahdan, ketika takdir Tuhan menempatkannya sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama, noktah samar itu telah menjelma menjadi sebuah titik hitam yang sangat jelas terbaca. Setidaknya, terbaca jelas oleh diri Sukarno. Itulah yang kemudian dikisahkan kepada penulis biografinya, Cindy Adams, sebagai “ramalan-ramalan emas”.
Sukarno-lah objek yang diramal. Sukarno pula yang disebut namanya dengan sangat jelas dalam mantram ramalan-ramalan emas tadi. Sekalipun begitu, Sukarno tidak pernah sakalipun menyinggung semua itu hingga ia menuturkannya kepada penulis biografinya.
Nilai spiritualnya menjadi berbeda, seandainya ia mengemukakan ramalan yang belum terjadi. Sebab, jika itu yang dia lakukan, tentu saja akan menjadi perdebatan, pro-kontra ihwal keyakinan, ihwal nilai-nilai religi. Lain ketika Bung Karno me-review ramalan-ramalan terdahulu, ramalan-ramalan yang telah berlalu. Ia mengungkapnya justru sebagai penghomatan tinggi tentang kewaskitaan para tokoh yang telah meramalnya dengan tepat.
Apakah “ramalan emas” yang dimaksud Bung Karno? Tak lain adalah ramalan yang secara gamblang menunjukkan masa depannya sebagai tokoh bangsa, tokoh yang akan mengentaskan bangsa ini dari derita penjajahan berkepanjangan.
Sukarno mencatat ada tiga ramalan emas yang terngiang jelas di otaknya. Pertama, diucapkan oleh ibundanya sendiri, Ida Ayu Nyoman Rai atau kita kenal sebagai Idayu. Ialah yang meramal bayi Sukarno kelak akan menjadi pemimpin dari rakyat Hindia yang terjajah. Konfirmasi ramalan ibundanya, didapat dari neneknya, sebagai saksi atas peristiwa kelahiran Sukarno.
Yang Bung Karno ingat adalah peristiwa di suatu pagi, saat matahari belum lagi menampakkan diri. Ia tebangun, dan melihat ibundanya duduk di beranda, seorang diri, menghadap ke timur. Sukarno kecil berjalan gontai menuju sang ibu, sekadar ingin bermanja. Oleh ibunya, ia segera direngkuh dan dipangkunya.
Dalam dekapan hangat di pagi buta, meluncurlah suara lembut sang ibu, “Engkau sedang memandangi fajar, nak. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan mejadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar menyingsing. Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putra dari sang fajar.”
Waktu terus bergulir. Berjumpalah Sukarno dengan Dr. Douwes Dekker, seorang patriot keturunan Indo-Belanda yang mendedikasikan seluruh hidupnya bagi kemerdekaan Indonesia. Ia bersama Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara mendirikan National Indische Partij pada tahun 1912. Douwes Dekker yang bernama Indonesia Danudirdja Setiabudi ini, adalah adik dari pengarang Eduard Douwes Dekker atau yang kita kenal dengan nama samaran Multatuli.
Nah, Douwes Dekker atau Setiabudi ini adalah tokoh pergerakan penting. Ia, seperti kebanyakan tokoh pergerakan lain, juga telah mengalami pembuangan oleh Belanda selama bertahun-tahun. Pria kelahiran Pasuruan 8 Oktober 1879 dan meninggal dunia di Bandung 28 Agustus 1950 itu, tak urung bersinggungan pula dengan Sukarno, sebagai sesama orang pergerakan menuju Indonesia merdeka.
Di saat usianya merambat di angka 50, Douwes Dekker menyampaikan testamen penting kepada partainya, National Indische Partij. Pada suatu rapat partai, berkatalah Douwes Dekker, “Tuan-tuan, saya tidak menghendaki untuk digelari seorang veteran. Sampai saya masuk ke liang-kubur saya ingin menjadi pejuang untuk Republik Indonesia. Saya telah berjumpa dengan pemuda Sukarno. Umur saya semakin lanjut, dan bilamana datang saatnya saya akan mati, saya sampaikan kepada tuan-tuan, bahwa adalah kehendak saya supaya Sukarno yang menjadi pengganti saya.”
Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan “ramalan”-nya…, “Anak muda ini, akan menjadi ‘juru selamat dari rakyat Indonesia di masa yang akan datang’.”
Itulah yang dicatat Sukarno sebagai ramalan emas yang kedua tentang dirinya. Sedangkan, ramalan emas yang nomor tiga, datang dari mahaguru junjungannya, Haji Oemar Said (H.O.S.) Cokroaminoto. Ia seorang penganut Islam yang saleh. Partainya, Sarekat Islam, mampu menggerakkan massa dalam jumlah yang sangat besar. Seperti halnya Douwes Dekker dan yang lain-lain, Cokro juga terbilang akrab dengan ruang pengap bernama penjara Belanda.
Bung Karno dalam banyak keterangannya menyebut Surabaya sebagai kawah candradimuka, di rumah Cokroaminoto pula ia mendapat gemblengan, sehingga melahirkan semangat nasionalisme yang berkobar-kobar. Sukarno yang tinggal di salah satu kamar sempit, paham betul ritual keagamaan Cokro. Termasuk kebiasaannya shalat maghrib, dilanjut wirid dan doa hingga masuk waktu shalat isya. Namun, ada satu hari yang begitu membekas di benak Sukarno.
Malam itu, hujan turun membasahi Surabaya. Usai shalat shalat isya, ia berdoa lama, sebelum akhirnya selesai dan berjalan menghampiri keluarganya. Tak lama kemudian, dengan raut wajah serius, suara yang dalam, Cokro berkata kepada seluruh keluarganya, “Ikutilah anak ini. Dia diutus oleh Tuhan untuk menjadi Pemimpin Besar kita. Aku bangga karena telah memberikan tempat berteduh di rumahku.”
Ramalan pertama tahun 1901. Ramalan kedua dan ketiga tahun 20-an. Dan Bung Karno mengungkapnya tahun 1965.