Dekan Fakultasi Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Firmanzah menilai biaya untuk pemindahan ibukota akan sama besarnya dengan kerugian yang akan ditanggung apabila ibukota tetap di Jakarta.
"Kalau pindah, biaya yang dikeluarkan itu bisa setara dengan kerugian yang diterima kalau tetap di Jakarta," ujarnya saat ditemui di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (9/8/2010).
Firman mengakui pemindahan ibukota keluar dari Jakarta membutuhkan usaha yang besar dan tidak mudah.
"Bisa dibayangkan, apa saja yang harus dibangun. Mulai dari fasilitas gedung, kolam renang, berbagai jasa-jasa, dan lainnya," ungkapnya.
Di sisi lain, Firman menyatakan apabila ibukota tidak dipindahkan memiliki segi positif dalam hubungan dengan sejarah tempo dulu kala masih bernama Batavia.
"Tapi, apa iya harus terus (bertahan di Jakarta), 10-20 tahun lagi mau jadi apa? Saya kira kita harus serius," ujarnya.
Firman memberikan contoh kondisi yang terjadi di Maroko, di mana pemindahan ibukota hanya fokus pada kebutuhan inti saja dengan menggunakan beberapa hektare lahan dibangun untuk komplek kepresidenan.
"Di situ ada komplek menteri dan fasilitas lain-lain. Jadi nanti kalau rapat kabinet juga mudah," jelasnya.
Sementara terkait wilayah mana yang layak dijadikan untuk wacana tersebut, ia mengaku belum dapat mengatakannya. Walau tidak menepis kalau Kalimantan akan menjadi pusat pertumbuhan baru.
"Kami belum ada kajian, nanti kami pelajari dulu dengan tim," tandasnya.
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Firmanzah memahami biaya yang dibutuhkan untuk perpindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta akan sangat mahal.
Namun demikian, biaya itu secara kalkulasi diperkirakan sama dibandingkan tingkat kerugian banyak pihak bila Ibukota tetap berada di Jakarta.
"Kalau pindah, biaya yang dikeluarkan itu bisa setara dengan kerugian yang diterima kalau tetap di Jakarta," kata Firmanzah di Hotel Borobudur, Jakarta.
Meski demikian, bila Ibukota RI tetap berada di Jakarta, dia melanjutkan, ada faktor positifnya dalam hubungan dengan kenangan masa lalu, ketika masih bernama Batavia dan Jayakarta. "Tapi, apa iya harus terus (bertahan di Jakarta), 10-20 tahun lagi mau jadi apa? Saya kira kita harus serius," katanya.
Dengan keberadaan teknologi saat ini, Firmanzah menambahkan, biaya perpindahan Ibukota bisa ditekan, yaitu hanya pada pemindahan fasilitas inti. Dia lalu mencontohkan kondisi serupa di Maroko. Beberapa hektare lahan dibangun menjadi komplek kepresidenan.
"Di situ ada komplek menteri dan fasilitas lain-lain," katanya. "Jadi nanti kalau rapat kabinet juga mudah."
Menurut Firmanzah, terkait pilihan kota mana yang menarik, saat ini dirinya juga belum mengetahui. Namun, wacana salah satu kota di Kalimantan bisa menjadi pilihan menarik, karena akan menjadi pusat pertumbuhan baru.
"Kami belum ada kajian, nanti kami pelajari dulu dengan tim," katanya.