Minggu, 15 Agustus 2010

Bung Karno dan Agama-agama Dunia

rumah-pengasingan-sukarno

Penjara dan pembuangan, adalah hari-hari kosong dan terkekang. Penjara dan pembuangan adalah hilangnya kemerdekaan. Penjara dan pembuangan, adalah saat-saat tebaik untuk dekat kepada Sang Pencipta. Itu pula yang dilakukan Bung Karno, baik semasa dijebloskan penjara Sukamiskin, maupun selama dalam pembuangan di Eende (1932-1938) dan Bengkulu (1938 – 1942).

Ada satu fase di Ende yang ia gunakan untuk memperdalam pengetahuannya tentang agama-agama di dunia. Mengapa Bung Karno melakukan itu? Bukankah dia seorang muslim?
Sukarno sejatinya lahir dari suasana sinkretisme agama. Dari ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, ia mengenal ajaran Hindu Bali. Dari bapaknya, Raden Sukemo Sosrodihardjo ia mempelajari Primbon Jawa pra-Islam serta sedikit pengetahuan teosofi. Sukarno sebagai muslim, sedikit terasah saat ia digembleng H.O.S. Cokroaminoto di Surabaya.
Kembali ke ketertarikan Sukarno pada agama-agama dunia. Sebuah ketertarikan yang pada akhirnya benar-benar menopang kedudukannya sebagai seorang Presiden dari sebuah negara besar yang plural. Di Ende Sukarno menjalin kontak yang intens dengan para pater sehingga ia memperoleh pengertian mendalam tentang Katolik Roma. Di Ende pula ia intens menjalin kontak dengan seorang guru Kristen, Georgette Manafe, yang memberinya pemahaman mendalam tentang ajaran Protestan.
Penulis biografi politik Sukarno, Lambert Giebels memberi penekanan, bahwa di antara agama-agama dunia tadi, Sukarno paling banyak mempersembahkan energinya untuk mendalami agama Islam. Caranya, menjalin korespondensi intensif engan ulama bernama A. Hasan. “Guru” Bung Karno di bidang Islam ini dikenalnya di Bandung. Hasan adalah seorang India dari Madras yang dalam tahun 1924 pindah ke Bandung, kemudian memimpin Persatuan Islam (Perkumpulan Islam) atau disingkat Persis yang reformis.
Korespondensi antara Sukarno dan Hasan dimulai 1 Desember 1934. Surat pertama Sukarno adalah permintaan dia untuk dikirimi buku-buku pelajaran tentang Islam. Salah satu kalimat Sukarno yang dikutip Giebels adalah, “Tidak ada agama yang lebih mendukung kesamaan manusia daripada Islam.”
Alquran bagi Sukarno adalah final. Ia membaca, meresapi, dan mengamalkan dengan ketaatan penuh. Di sisi lain, ia juga menenggelamkan diri dalam lautan hadits. Dari diskusi korespondensi dengan gurunya itulah diketahui, Sukarno pun sangat kritis terhadap kebekuan dalam Islam.
“Adalah keyakinan saya yang terdalam (….) bahwa dunia Islam terbelakang karena banyak orang terlalu memperhatikan hadits-hadits yang tidak berisi dan palsu. Dengan demikian agama Islam diselubungi oleh kabut konservatisme, tahayul, fitnah, antirasionalisme, dsb. Padahal, tidak ada agama yang lebih rasional dan sederhana daripada Islam.”
Begitu ungkapan Sukarno dalam suratnya kepada Hasan. Kritik Sukarno juga berlaku untuk pelaksanaan fiqih. “Islam telah ketinggalan seribu tahun,” tulis Sukarno kepada gurunya di Bandung.
Begitulah pergulatan Bung Karno dengan agama-agama dunia, serta pendalamannya terhadap agama yang ia anut, Islam. Di Ende pula Sukarno menjadi seorang muslim yang aktif menjalankan syariat Islam. Di sisi lain, ia menjadi manusia dengan toleransi keagamaan yang tinggi.
Giebels mengutip pula salah satu kalimat dalam surat Sukarno kepada pater Van der Heijden. Katanya, “Seorang Hindu Sanyasin berkata bahwa pengikut-pengikut Krisus, Budha maupun Muhammad adalah ombak-ombak di samudera luas. Samudera luas itulah Aku.”

kirim komentar anda melalui emai disini




















Baca Juga Yang Lainnya Tentang :

Kata Mereka