Minggu, 15 Agustus 2010

Menatap “Bung Karno Berdasi Merah”

Soekarno Berdasi Merah

Lupa tanggal dan bulan, samar pula tahunnya. Nantilah saya cek. Tapi sebagai cantelan peristiwa, baiklah saya sebut saja sekitar tahun 2006, ketika tokoh GMNI, H. Amin Aryoso mengajak saya menuju kediaman Jusuf Ronodipuro, di Jl. Talang Betutu, Menteng, Jakarta Pusat. Konteksnya adalah menggali sejarah langsung dari sumbernya. Kebetulan, tokoh ini, dikenal sebagai pembaca teks proklamasi melalui pemancar RRI pada tanggal 17 Agustus 1945.

Hasil bincang-bincang siang sampai sore hari itu, sempat pula saya tulis untuk tabloid Cita-Cita, sebuah tabloid yang mengusung tema nasionalisme dan non partisan. Sayang, hingga naskah ini publish, saya belum menemukan pula dokumentasi digital tabloid tersebut. Berhubung tulisan ini dimaksudkan bukan untuk menyorot peran Jusuf Ronodipuro pada awal-awal kemerdekaan Indonesia, maka saya lewatkan saja pencarian itu. “Sesuatu, manakala dicari sering menghilang, begitu sudah tidak dicari, muncul,” gumam saya.
Ini adalah fase pasca bincang-bincang. Dikatakan bincang-bincang memang karena forumnya benar-benar tidak formal. Dengan Amin Aryoso, dia lebih banyak bernostalgia. Dengan saya, dia banyak menuturkan kisah sejarah. Alhasil, obrolan gado-gado hari itu buat saya cukup berkesan.
Tibalah Jusuf Ronodipuro, dengan sedikit susah payah bangun dari duduk, dan berjalan pelan sekali menyusur ruang tamu hingga ruang tengah yang berbentuk “L”. Nah, pada salah satu dinding itulah, terpajang lukisan Basuki Abdullah ini. Lukisan dengan objek Bung Karno berdasi merah. Itu adalah salah satu koleksi lukisan paling disayang oleh Ronodipuro. Berdiri di bawah lukisan tadi, ia bisa menatapnya lama hingga tak terasa air mata menggenang di kedua pelupuk matanya yang tua.
Lukisan yang memiliki kekentalan daya magis bagi yang merasakan. Setidaknya, Jusuf Ronodipuro merasakan getar-getar itu. Manakala ia berkisah tentang sosok Bung Karno dalam bingkai lukisan dengan penuh penjiwaan, saat itu saya sendiri masih bergulat dengan mata batin saya, yang tak kunjung bisa menangkap getaran yang dirasakan si empunya lukisan. Hingga selesai sesi menikmati lukisan tadi, hanya kesan datar yang berhasil kutangkap, “Istimewa, seperti halnya karya Basuki Abdullah yang lain.”
Saat rehat, topik sudah tidak lagi sekental jam-jam sebelumnya, saya mohon izin untuk kembali menatap lukisan ini. Saya melangkah pelan ke bawah lukisan ini, membiarkan Jusuf Ronodipuro dan Amin Aryoso melanjutkan obrolan cair yang tentunya menyehatkan jiwa keduanya.
Saya berkonsentrasi sejenak. Lebih dua menit saya memusatkan pikiran, sambil membenamkan sorot mata dan konsentrasi ke objek di depan saya. Dari mana saya hendak berkomunikasi dengan “Bung Karno” di atas kanvas, di depan saya? Saya awali dengan menatap sorot matanya. Kemudian saya biarkan mata ini berjalan tanpa kendali pikir. Dan ternyata, ia bergeser ke kiri, ke arah kepalan tangan.
Ada desir rasa yang entah bagaimana saya harus mengungkapkan. Sebab, kalau dibahasakan, yang keluar hanyalah sekadar kata “heroik”, padahal yang ada di dalam dada adalah heroisme yang bergelombang, mengikuti guratan dan sapuan kuas Basuki Abdullah. Dasi warna merah yang terjurai, menusukkan satu lagi getar yang dalam. Bayang-bayang wajah serta gurat latar, melengkapi seluruh makna yang terangkum dalam otak dan dada. Dia adalah selimut sejarah.
Syahdan… kini, lukisan itu sudah lepas dari dinding. Hilang tahun 2008, setelah Jusuf Ronodipuro wafat. Yang “mencuri”, bukanlah “pencuri”, mengingat dia adalah putra almarhum Jusuf Ronodipuro sendiri.


kirim komentar anda melalui emai disini




















Baca Juga Yang Lainnya Tentang :

Kata Mereka