Minggu, 15 Agustus 2010

Penyelamatan Sang Saka Merah Putih

kibarkan merah putih 17 agustus 1945

Adalah tangan Fatmawati sendiri yang menjahit dua kain menjadi dwiwarna: Merah Putih. Subuh tanggal 17 Agustus 1945, dalam keletihan yang teramat sangat, Bung Karno pulang dalam keadaan menggigil. Malarianya kumat. Terlebih dua hari dua malam ia tidak tidur. Hanya air soda dan air soda yang diminum untuk menyegarkan mata.

Fatmawati yang menyambutnya dengan cemas, melihat betapa Bung Karno teramat pucat. Tanpa banyak kata, Bung Karno bukannya merebahkan badan, melainkan berjalan menuju meja tulis. Diambilnya kertas dan pena, lalu ia menulis berlusin-lusin surat. Seperti dituturkan kepada Cindy Adams, Sukarno mengisahkan bahwa Fatmawati cukup mengerti gejolak hati Sukarno, sehingga membiarkannya tetap bekerja. Tubuhnya menggigil diserang malaria, tetapi jiwanya jauh lebih bergejolak menyongsong Indonesia merdeka sebentar lagi.
Fatmawati sendiri bukannya bugar. Ia mengikuti benar hari-hari, jam-jam menjelang proklamasi. Dan itu sungguh melelahkan. Termasuk, ia harus menyiapkan bendera merah putih untuk keperluan upacara kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Bendera jahitan tangan Fatmawati itu pulalah yang dikibarkan pada momentum proklamasi. Bendera itu pula yang kemudian menjadi pusaka negara: Sang Saka Merah Putih.
Nilainya begitu sakral. Sejak dikibarkan di Pegangsaan Timur 56, bendera itu pantang diturunkan. Pasukan Berani Mati yang dibentuk sehari setelah proklamasi, berjaga 24 jam, siap menghadang tentara Jepang jika mereka datang hendak menurunkannya. Tonggak kemerdekaan sudah ditancapkan, sang merah putih sudah berkibar, nyawa-nyawa jiwa merdeka siap menjaganya agar tetap berkibar dan terus di angkasa Indonesia.
bung-karno
Satu hari, dua hari, satu pekan, dua pekan… Sang Merah Putih tetap berkibar. Sementara itu, pasukan Sekutu dikabarkan mulai mendarat di sejumlah pantai dan kota-kota Indonesia. Detik-detik perang mempertahankan kemerdekaan, sudah di depan mata. Sukarno sudah menghitung situasi itu. Surat-surat yang ditulisnya di subuh 17 Agustus 1945, antara lain berisi instruksi kepada para pemimpin pergerakan.

Kepada yang satu, diperintahkan untuk menghimpun kekuatan untuk kepentingan pertahanan. Kepada yang lain, Sukarno memerintahkan agar mengambil alih pemerintahan mulai dari tingkatan desa. Dan surat lain berbunyi, “Besok Saudara akan mendengar melalui radio, bahwa kita sekarang telah menjadi rakyat yang merdeka. Begitu Saudara mendengar berita itu, bentuklah segera komite kemerdekaan daerah di setiap kota dalam daerah Saudara.”
Waktu melintas tahun, ketika Sekutu benar-benar mendarat dan menumpas Indonesia merdeka. Ia menangkap, menahan, bahkan membunuh para pejuang kita. Sukarno dan keluarga yang tak lagi aman di Jakarta, hijrah ke Yogyakarta. Dengan demikian pindah pula pemerintahan pusat dari Jakarta ke Yogyakarta. Bagaimana nasib bendera pusaka yang dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945?
Sejarah selalu mencatat peristiwa-peristiwa bersejarah. Sang bendera pusaka, adalah sejarah yang mutlak harus dicatat. Dalam situasi negara chaos, menghadapi pertempuran melawan Sekutu di satu sisi, serta menghadapi perundingan di sisi yang lain, ternyata ada sekuel yang menarik tekait bendera pusaka kita.
Adalah intelijen Sekutu yang tercium tengah mengendus-endus keberadaan bendera pusaka. Barangkali, upaya mereka menenggelamkan bahtera Indonesia merdeka, tidak afdol kalau tidak bersamaan dengan penguburan sang pataka. Karenanya, pencarian bendera merah putih –untuk dimusnahkan– berlangsung di antara peperangan dan perundingan.
Sang dwi warna, rupanya sudah diamankan oleh para pejuang kemerdekaan. Ia disimpan, disembunyikan, dilindungi dengan nyawa. Tidak hanya itu, sistem penyimpanan pun dibuat mobile, bergerak terus dari satu rumah ke rumah lain, dari satu tempat ke tempat lain. “Pemunculan” sang merah putih berhasil direkam oleh Dr. Soeharto, dokter pribadi Bung Karno pada April 1949.
Soeharto sendiri tidak tahu, di mana sang merah putih antara kurun 1945 – April 1949. Yang jelas, malam itu, April 1949 ia kedatangan tami misterius bernama Muthahar. Tokoh ini di kemudian hari sempat menjabat duta besar Republik Indonesia serta pemimpin Kwartir Nasional Pramuka. Malam itu, ia datang dengan menyelinap, takut tercium Nica. Di tangannya terpegang dua carik kain, merah di kanan, putih di kiri. Itulah Sang Saka Merah Putih, yang untuk tujuan pengamanan, telah dilepas jahitannya, dan diamankan sedemikian rupa sebagai sebuah benda maha penting bagi tonggak berdirinya republik.
Muthahar, malam itu, menitipkan sang dwi warna kepada Dr. Soeharto. Mendapat amanat penting, Dr. Soeharto menunaikannya dengan sangat hati-hati. Ia menyimpan potongan kain merah di satu tempat, dan kain putih jauh di tempat lain. Maksudnya, menjaga kemungkinan penggeledahan Nica.
Tercatat, tidak lama sang merah putih disimpan di rumah Dr. Soeharto di Jl. Kramat 128, Jakarta Pusat. Beberapa malam berikutnya, Muthahar kembali datang untuk mengambil dua potong kain pusaka tadi, dan memindahkannya ke tempat berbeda. Entah berapa kali, puluh kali, ratus kali Muthahar menyelinap, mengendap, memindahkan tempat persembunyian bendera proklamasi. Satu tekad dikandung badan, benda pusaka itu tidak boleh jatuh ke tangan Belanda, dan akan tetap menjadi pusaka kita selama-lamanya.
Tuhan Maha Besar. Sang merah putih, meski tak lagi semerah darah dan seputih melati, tetapi dia tetap utuh hingga hari ini. Merahnya yang memudar digerogoti waktu, tetap menyiratkan tekad berani semerah darah. Meski putihnya menguning diretas waktu, tetapi putihnya tetap menyiratkan tekad suci seputih melati. Dan dia, adalah perlambang Ibu Pertiwi, yang akan kita bela sampai mati. 


kirim komentar anda melalui emai disini




















Baca Juga Yang Lainnya Tentang :

Kata Mereka