Minggu, 15 Agustus 2010

Sukarno Setengah Dewa

Bung Karno dengan Paku Buwono XII 1946

Gelar “Raden” di depan nama Jawa, adalah simbol status sosial yang tinggi: Ningrat alias Bangsawan. Itu artinya, Raden Sukarno adalah trah manusia dari kasta berdarah biru. Di zaman manusia masih memuja batu, trah ningrat identik dengan keturunan dewa. Bagi sebagian rakyat jelata, Raden Sukarno digolongkan sebagai manusia setengah dewa karena keningratannya. Kaum bangsawan, memang dipercaya merupakan khafilah di muka bumi. Lahir dan dilahirkan dengan kodrat menjadi pemimpin bagi bangsanya.

Paham seperti itu, tidak hanya berlaku di bumi Nusantara, tetapi juga di berbagai belahan dunia yang lain. Simak saja sejarah kekaisaran Roma, dinasti-dinasti Tiongkok, khafilah-khafilah Timur Tengah, peradaban tua Yunani, hingga kehidupan primitif di pedalaman Amazon.
Adalah Putra Sang Fajar, yang lahir dengan kodrat menjadi pemimpin bagi bangsanya. Adalah Kusno, yang kemudian diganti nama menjadi Sukarno, sang pembebas negeri dari cengkeraman durjana penjajah. Adalah Bung Karno, lelaki pecinta keindahan, yang terlahir sebagai ikon perubahan peradaban. Dialah yang mempreteli “alur dewa” pada dirinya. Dia sendirilah yang mencopot gelar raden di depan namanya.
Perubahan tidak dilakukan dalam hitungan kedipan mata. Namun setidaknya bisa dicatat, tonggak kesadaran Sukarno tadi, terjadi sesaat setelah lulus kuliah, tahunnya berkisar 1926. Pada waktu itu, Sukarno muda mulai bergulat dengan sebuah persimpangan. Simpang jalan antara bekerja mengamalkan ilmu teknik sipilnya, atau bekerja membangun pondasi sebuah bangsa yang merdeka.
Sejarah mencatat, ia melakukan keduanya. Pada 26 Juli 1926, ia membuka biro teknik yang pertama, bekerja sama dengan teman sekelasnya di THS, Ir. Anwari. Pada rentang kurun yang sama, Sukarno juga makin jauh terseret dalam gerakan politik. Gerakan kebangsaan. Ia berpidato, berkhotbah, melancarkan propaganda kebangsaan bagi jiwa-jiwa kerdil yang telah ratusan tahun direndahkan, ditekan, diinjak, dihinakan.
Sebagai lelaki 25 tahun, semangat Sukarno masih menyala-nyala. Ia mengkhotbahkan nasionalisme terpimpin. Ia cekoki rakyat-rakyat di pinggir jalan, rakyat-rakyat di pedalaman, rakyat-rakyat pemakan bangku sekolah dengan kesadaran nasional. Ia tidak hanya mencekoki kesadaran berbangsa, tetapi juga tampil menjadi pemimpin di antara rakyatnya.
Nah, tahukah Anda, hal apa yang pertama kali ia cekokkan ke otak bangsanya? Tak lain adalah paham demokrasi sebagai ganti feodalisme yang telah bercokol berabad-abad. Benar. Ia mulai dari sana.
Raden Sukarno
Begini antara lain bunyi khotbah Bung Karno, “Kita memerlukan persamaan hak. Kita telah mengalami ketidaksamaan selama hidup kita. Mari kita tanggalkan pemakaian gelar-gelar. Walaupun saya dilahirkan dalam kelas ningrat, saya tidak pernah menyebut diriku raden dan saya minta kepada saudara-saudara mulai dari saat ini dan untuk seterusnya supaya saudara-saudara jangan memanggil saya raden. Mulai dari sekarang, jangan ada seorang pun menyebutku sebagai tedaking kusuma rembesing madu — keturunan bangsawan. Tidak. Aku hanya cucu dari seorang petani. Feodalisme adalah kepunyaan masa lalu yang sudah dikubur. Feodalisme bukan kepunyaan Indonesia di masa yang akan datang.”


Gamblang benar sikap Bung Karno terhadap feodalisme, sekalipun ia berasal dari sana. Gamblang pula apa yang ada di benaknya. Perjuangan yang dilandaskan atas perbedaan kelas, tidak akan melahirkan sebuah bangsa demokratis. Perjuangan mencapai Indonesia merdeka, tidak akan kokoh tanpa pondasi keterlibatan rakyat semesta. Karena itu pula, yang pertama Bung Karno lakukan adalah menaikkan derajat rakyat yang selamanya hanya mengenal sistem feodalisme, ditingkah imperialisme yang dholim.
Langkah demi langkah mewujudkan perjuangan tanpa perbedaan kelas, dimulai dari pendekatan bahasa. Sukarno tidak mungkin melanggengkan bahasa Jawa, bahasa ibu, karena ia tahu betul, dalam bahasa Jawa terdapat 13 tingkatan yang pemakaiannya tergantung pada siapa yang menjadi lawan bicara. Belum lagi fakta, bahwa Nusantara memiliki ratusan bahasa daerah, dengan ribuan dialeknya.
Pada saat yang sama, bahasa Indonesia (Melayu), hanya dipakai oleh kaum ningrat, tidak oleh rayat biasa. Itulah satu celah yang ditangkap Sukarno dengan jitu. Maka, ia pun berseru, “Mulai hari ini, menit ini, mari kita berbicara dalam bahasa Indonesia.” Ya, ia mengajak seluruh lapisan masyarakat dari yang paling ningrat hingga yang paling sudra, untuk berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Suatu cara mengangkat derajat bangsa, dan meninggalkan feodalisme.
Dengan bahasa Indonesia, Bung Karno menekankan pesan penting, “Hendaknya rakyat Marhaen dan orang bangsawan berbicara dalam bahasa yang sama. Hendaknya seseorang dari satu pulau dapat berhubungan dengan saudara-saudarnya di pulau lain dalam bahasa yang sama. Kalau kita, yang bernak-pinak seperti kelinci, akan menjadi satu masyarakat, satu bangsa, kita harus mempunyai satu bahasa persatuan. Bahasa dari Indonesia Baru.” 
kirim komentar anda melalui emai disini
























Baca Juga Yang Lainnya Tentang :

Kata Mereka