Minggu, 15 Agustus 2010

Bung Karno Ingin Mencontoh Denmark



Sukarno
Tak sedikit pun diragukan, Bung Karno itu ibarat perpustakaan berjalan. Pengetahuannya tidak hanya tentang sejarah tokoh-tokoh berpengaruh di dunia. Pemahamannya bukan hanya tentang berbagai ajaran, teori, dan rumusan politik dan etik. Referensinya tidak hanya ratusan suku bangsa di Indonesia, tetapi juga karakter bangsa-bangsa di dunia.

Entah apa rahasianya, tetapi Bung Karno bisa “melahap” sebuah buku dalam waktu yang begitu cepat. Bukan hanya itu. Memorinya luar biasa tajam. Dalam analogi chip komputer, entah kategori berapa bytes, mega, giga, atau terabytes. Karena itu pula, Sukarno begitu mengagumkan. Tidak saja dikagumi rakyatnya, tetapi juga dikagumi para tokoh dunia.
Kekayaan literatur dalam benaknya, membuat siapa pun yang berbicara dengannya, merasa klop. Pengetahuan yang lengkap, membuat siapa pun yang berbicara dengannya, merasa terkesan. Kepada Nixon, Eisenhower, dan Kennedy, Bung Karno bisa membeberkan sejarah Thomas Jefferson, George Washington dengan begitu heroik. Kepada Nikita Kruschev, Bung Karno bisa menguak sisi terdalam seorang Lenin hingga kebesaran dinasti Tsar. Bahkan kepada Raja Arab Saudi dan para pemimpin Timur Tengah, Bung Karno bisa mendongeng lebih indah dibanding kisah 1001 malam.
Raja Frederik IX dan Denmark
Alhasil, antara tanggal 3 – 27 Juni 1959, Bung Karno melakukan lawatan ke luar negeri. Salah satu negara yang dikunjunginya adalah Denmark. Benar. Ia minta protokol mengatur persinggahan di Kopenhagen. Sejumlah anggota rombongan tidak sedikit yangunder estimated, “Untuk apa mengunjungi sebuah negara kecil seperti Denmark?” Salah satu yang bertanya adalah dokter pribadinya, Dr. Soeharto.
Sukarno tahu bahwa tidak sedikit anggota rombongannya yang mempertanyakan kunjungannya ke Denmark. Seperti biasa, alasan yang Bung Karno kemukakan pertama-tama adalah: “memperkenalkan Indonesia”. Setelah itu, barulah Bung Karno bercerita ihwal riwayat karya-karya seni patung yang termashur, antara lain Patung Dewi Laut. Maklumlah, sejak masih sekolah di HBS, Bung Karno sudah mempelajari banyak buku seni dunia.
Selanjutnya, mulailah Bung Karno membeber literatur Denmark yang ada di kepalanya. Ia berkisah tentang riwayat bangsa Denmark yang hidup tenteram dan sejahtera. “Sistem sosial ekonomi Denmark dapat dipertimbangkan untuk dicontoh. Lembaga sejenis koperasi, berperan penting di sini. Karenanya, hanya sedikit orang Denmark yang betul-betul kaya raya, dan lebih sedikit lagi orang Denmark yang betul-betul miskin,” urai Bung Karno.
Raja Denmark yang bertahta ketika Bung Karno berkunjung adala Raja Frederik IX, dari Dinasti Schleswig-Holstein-Sonderburg-Glucksburg. Dinasti kerajaan dipertahankan di Denmark bukan untuk melestarikan feodalisme, melainkan sebagai sarana untuk mempersatukan bangsa Denmark. “Sungguh sejahtera bangsa Denmark. Meskipun tidak memiliki sumber daya alam, tetapi dapat hidup makmur dan adil dengan sistem jaminan sosial yang menyeluruh. Dalam masyarakat seperti itu, kemungkinan timbul gejolak sosial, sangat kecil,” papar Bung Karno pula.
Pernyataan Bung Karno menyiratkan rasa inginnya ia mencontoh tatanan sosial-ekonomi Denmark. Terlebih, pada era kunjungannya saat itu, Indonesia sedang dilanda konflik separatis. Kabinet parlementer jatuh-bangun.
Bagi saya pribadi, kisah sejarah di atas, ternyata memiliki benang merah dengan naiknya tokoh muda bernama Moch. Achadi. Tahun 1959, Achadi menjadi pimpinan organisasi mahasiswa pelajar Indonesia se-Eropa, dan berdomisili di London. Demi mengetahui Bung Karno singgah di Denmark, Achadi meninggalkan London menuju Kopenhagen, untuk suatu urusan. Itulah perjumpaan pertama Achadi dan Bung Karno.
Beberapa tahun kemudian, Achadi diangkat menjadi Menteri Transmigrasi dan Koperasi Kabinet Dwikora, 1964-1966. Sampai di sini informasinya, karena materi tentang itu, sedang saya susun menjadi sebuah buku. Insya Allah.

kirim komentar anda melalui emai disini




















Baca Juga Yang Lainnya Tentang :

Kata Mereka