Sistem parlemen dua kamar Inggris inilah yang menjadi cikal bakal dari hampir semua parlemen bikameral (dua kamar) yang sekarang ada di banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia maupun di Amerika Serikat. Model parlemen seperti inilah yang seringkali dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari demokrasi. Dari sini dapat kita lihat bahwa institusi parlemen dalam artian sebagai dewan yang mengurus pemerintahan sehari-hari adalah bagian yang tak terpisahkan dari tradisi feudalisme dan bukan merupakan konsekwensi logis dari teori demokrasi itu sendiri. Sistem parlemen baru menjadi bagian dari demokrasi karena perkembangan-perkembangan sejarah tertentu dan bukan karena pengembangan teori atau kegiatan intelektual. Perkembangan sejarah yang membuat parlemen menjadi bagian dari teori demokrasi bukanlah sejarah umum dunia melainkan sejarah khusus yang terjadi di satu kepulauan kecil di sebelah utara benua Eropa yaitu Inggris. Kalau kita mendengar orang-orang dari era Soekarno berbicara soal demokrasi, sering timbul kesan bahwa demokrasi itu bermula di Prancis. Ada pemikir-pemikir (philosophes) seperti Rousseau, Monstesquieu, Voltaire, Dedirot, dan ada tokoh-tokoh Revolusi seperti Danton, Robespierre, Marat, Corot, dll. yang seringkali disebut dalam kaitannya dalam demokrasi. Kebiasaan yang salah kaprah ini seringkali dilakukan oleh dedengkot-dedengkot demokrasi Indonesia seperti Soekarno, Hatta, dan banyak lagi. Namun itu adalah pandangan yang salah kaprah. Tokoh-tokoh nasionalis awal di Indonesia lebih banyak mengenal nama-nama itu karena mereka memang banyak terimbas oleh pemahaman-pemahaman kiri tapi sayangnya pembacaan sejarah Eropa yang mereka lakukan sangat minim. Ini saya katakan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada tokoh-tokoh besar yang banyak jasanya itu. Akan lebih tepat jika dikatakan bahwa Revolusi Prancis secara kelembagaan sangat terpengaruh oleh Pemberontakan Besar (Great Rebellion) di Inggris. Karena itu dirasa perlu untuk menyambung uraian tentang parlemen bikameral Inggris di atas dengan sedikit sejarah dari pemberontakan ini. Seperti yang sudah disebutkan tadi, kekuasaan seorang raja Eropa dalam teori feudalisme adalah kekuasaan yang terbatas, berbeda dengan konsep raja yang absolut dalam budaya-budaya Timur. Ia tidak bisa menarik pajak atau memulai perang tanpa berkonsultasi dengan parlemennya. Ini bukan disebabkan karena masalah konstitusi atau semacamnya, tapi karena masalah adat istiadat dan budaya. Dari segi militer, raja-raja Eropa waktu itu (abad 17) tidak punya yang namanya tentara tetap (standing army). Kalau raja hendak berperang, mereka harus merekrut petani-petani dari daerah-daerah di kerajaannya, dan untuk itu ia harus minta ijin kepada majikan dari para petani itu, yaitu adipati-adipati yang secara teoritis adalah bawahannya juga. Tapi karena adipati-adipati ini memegang kesetiaan rakyat lokal, maka kalau si adipati tidak setuju dengan rencana perang yang diajukan raja, ia bisa mensabotase rencana perang raja dengan tidak muncul bersama pasukannya pada saat apel siaga. Selain itu, petani-petani yang direkrut menjadi pasukan ini harus diberi makan dan untuk itu diperlukan uang. Lagi-lagi raja Eropa seringkali tidak memiliki dana pribadi (privy purse) yang memadai untuk berperang sendirian sehingga ia harus meminta bantuan finansial dari adipati-adipatinya juga. Raja Prancis di abad 17 seperti Louis XI misalnya, bisa merekrut petani dan menarik pajak sesuka hati karena raja-raja pendahulunya sudah mengembangkan sistem birokrasi non-bangsawan yang lumayan efektif tanpa perlu parlemen, sehingga kekuasaannya menjadi makin lama makin absolut (sampai memuncak pada era pemerintahan Louis XIV). Tapi karena raja-raja Inggris tidak pernah mengembangkan sistem birokrasi seperti itu, ia sangat tergantung pada parlemen. Situasi ini berusaha diatasi oleh Charles I dari Inggris dengan cara menggunakan kekerasan untuk memaksa House of Commons menyetujui penarikan pajak kapal (ship money) untuk membiayai perangnya melawan Prancis dan Spanyol. Parlemen Inggris, terutama kamar bawahnya, yaitu House of Commons, bukanlah parlemen yang lembek seperti di Prancis. Sejak abad 15, pejabat-pejabat lokal ini berhasil menumpuk kekayaan yang tidak sedikit dan mereka merasa marah ketika Charles I datang membawa pasukan pengawalnya untuk menangkap anggota Commons yang menolak memberikan suara setuju terhadap penarikan pajak yang diminta Charles. Maka untuk pertama kalinya dalam sejarah Eropa, terjadilah perang antara parlemen melawan rajanya sendiri. Perang ini membawa dampak yang menarik dari aspek politik. Di satu sisi, para pemberontak (yang disebut sebagai kaum parliamentarist) tidak bisa menolak keabsahan Charles I sebagai raja karena menurut teori politik feudal yang ada saat itu Charles I memang berhak menarik pajak itu, tapi di sisi lain mereka tidak mau kekayaan mereka disedot habis oleh kesewenangan raja. Dari sini lahirlah konsep yang tetap banyak digunakan sampai sekarang, termasuk di Indonesia, yaitu "rule of law". Konsep ini dalam penerapannya waktu itu menyatakan bahwa seorang raja Inggris tidak berhak menarik pajak atau menyatakan perang kecuali kalau ia mendapatkan keabsahan hukum dalam bentuk persetujuan dari parlemen. (Ini sekarang diterapkan di Indonesia dalam bentuk hak budgeter DPR). Charles I tentu saja tidak mau menerima teori baru yang diajukan kaum parlementaris ini karena dia berpegang pada teori bahwa raja memegang kekuasaan mutlak. Namun dalam perang yang meletus itu, dia kalah dan kepalanya dipenggal oleh pasukan parlementaris di bawah pimpinan Cromwell. Secara teori politik, bisa dikatakan bahwa teori parlementer tentang pembatasan hak penguasa oleh hukum atau aturan yang dibuat parlemen mendapatkan kemenangan dengan dipenggalnya kepala raja Charles I ini. Biarpun kemudian Inggris tetap menjadi monarki, namun sistem rule of law ini tetap bertahan sampai sekarang di Inggris dan di banyak negara lain di dunia yang berbentuk demokrasi (terutama negara-negara republik di Asia dan Afrika yang berdiri di era sekitar Perang Dunia II dengan bantuan dana Amerika). Kesimpulannya: demokrasi parlementer adalah sebuah konsep yang terbentuk karena pengalaman sejarah tertentu, dalam hal ini sejarah Inggris yang kemudian dicoba di Prancis dan Jerman. Dalam pola ini ada tahap-tahap perkembangan historis sebagai berikut: (a) Di sebuah negara ada kekuasaan absolut raja yang ditopang dengan teori feudalisme, (b) Kemudian muncul kelas penguasa lokal yang mendapatkan kekayaan besar dan menggunakannya untuk melawan raja dengan menggunakan instrumen struktur formal kenegaraan (parlemen/Commons) dan (c) Perlawanan secara militer ini dibarengi dengan menggunakan perlawanan secara ideologis, yaitu dengan mengeluarkan teori-teori tandingan untuk melawan teori feudalisme, yaitu teori yang sekarang kita sebut demokrasi parlementer. Pola perkembangan serupa kemudian diulang lagi beberapa tahun kemudian di dalam Revolusi Prancis di tahun 1790an (yang juga memenggal kepala rajanya, Louis XVI) dan di Jerman di tahun 1848, yang semuanya menggunakan ideologi demokrasi parlementer yang sama seperti yang digunakan di Inggris. Demokrasi, parlemen dan rule of law lahir dalam konteks seperti yang disebutkan di atas dan hubungannya dengan demokrasi Yunani-Romawi Kuno sangat tipis atau bahkan bisa dikatakan tidak ada. Tentu saja, kalau kita melihat sejarah Yunani Kuno, ada undang-undang Solon seperti yang sudah disebutkan tadi. Tapi undang-undang Solon ini bukan "hukum" dalam artian modern karena undang-undang Solon tidak mengatur tentang struktur negara (sehingga tidak dapat dikatakan sebagai undang- undang konstituante). Dewan rakyat atau ecclesia yang syarat keanggotaannya diatur oleh undang-undang Solon ini sudah ada dan bekerja sebelum Solon menuliskan satu huruf pun dari undang- undangnya.
Selamat mencoba , semoga bermanfaat dan berguna untuk anda..copy paste di bolehkan, asal tidak menjelek2kan artikel ini yang telah dibuat.Terima kasih telah berkunjung di Ihsan_blogs ..
created by IHSAN.
Baca Juga Yang Lainnya Tentang :